REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam menyampaikan pendapatnya di sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama yang menjerat terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa (20/12) Ketua tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ali Mukartono menyebut secara garis besar tim JPU merasa keberatan dengan apa yang disampaikan terdakwa.
Karena, nota keberatan yang diajukan, tidak secara langsung ditujukan untuk syarat materiil secara keseluruhan, tetapi hanya seputar niat dari terdakwa, yang tidak memiliki niat melakukan menista atau menodai agama Islam maupun menghina ulama.
"Sementara dari kuasa hukum, keberatan lebih ditujukan ke syarat formil, tentang seputar pemahaman konsituen berlaku yakni UU nomor 1/PNPS/ 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama," jelas Ali saat membacakan pendapat di ruang sidang Kusumah Atmadja, Eks Pengadilan Jakarta Pusat, Selasa (20/12).
Dalam keberatannya, Ali juga kembali membacakan eksepsi terdakwa mengenai ucapannya di Kepulauan Seribu yang tidak memilki niat dan bermaksud menafsirkan surah Al-Maidah ayat 51 serta beberapa tulisan Ahok di buku "Mengubah Indonesia" dalam sub bab berlindung di balik ayat suci yang menuliskan Surah Al-Maidah ayat 51 untuk memecah belah rakyat dengan roh kolonialisme. Diketahui, buku tersebut sudah diterbitkan sejak tahun 2008.
"Pernyataan isi dalam buku yang ditulis Ahok justru menimbulkan perpecahan. Intinya anak bangsa terutama adalah agama Islam. Apakah hak terdakwa tidak suka dengan ayat Alquran dalam hal ini adalah surah Al-Maidah ayat 51 lantaran karena tidak mengimaninya, tetapi jangankan terdakwa, siapapun tidak boleh untuk menyampaikan hal tersebut," ujar Ali.
Dalam eksepsinya pekan lalu, Ahok mengaku pernyataan itu untuk lawan politiknya yang takut bersaing menggunakan program. Karena itu lawan politik menggunakan surah Al-Maidah ayat 51 untuk mempengaruhi warga dengan konsep 'seiman' untuk tidak memilih Ahok dan menganggap lawan politiknya itu pengecut.
Menanggapi ucapan tersebut, Ali berpendapat, Ahok merasa paling benar. Menurut Ali, merupakan hak kandidat kepala daerah lainnya untuk menggunakan metode apapun. Selama metode itu sesuai dengan undang-undang.
"Kalau tidak melanggar perundang-undangan, tidak dapat dipersalahkan. Terdakwa menempatkan seolah tidak ada orang lain yang lebih baik dari terdakwa," jelas Ali.