Senin 19 Dec 2016 06:00 WIB
Ekspedisi LIPI ke Pulau Sumba

Para Penyuara Sabda Semesta

Kabubu Pajanji (Ama Njanji) dan Rambu Ana, pegiat budaya dan konservasi di Sumba.
Foto: Istimewa
Kabubu Pajanji (Ama Njanji) dan Rambu Ana, pegiat budaya dan konservasi di Sumba.

Ekspedisi LIPI ke Pulau Sumba

Para Penyuara Sabda Semesta 

Oleh: Oscar Efendy, Peneliti LIPI

=============

 

Kakek tua itu bersandar di tiang pintu rumahnya. Rumah dan pintu terbuat dari kayu dan bambu yang diikat satu sama lainnya. Kondisinya sudah kian rapuh dimakan usia, sama rapuhnya dengan penghuninya. Kakek Nggedi Satu dan Nenek Rambu Kahitamu. Dua pasangan romantis dari pedalaman Sumba. 

Ketika memainkan alat musik tradisional, yungga mata kakek itu menerawang jauh mengingat masa-masa silam, ketika semua masih relatif lebih mudah dilaksanakan walaupun aturan cukup ketat. Jemarinya sudah tidak lagi cekatan memetik yungga, tangannya juga mulai goyah menekan senar. 

Beberapa kali, kakek itu minta break dari memainkan yungga. Bukan untuk rehat karena lelah, tetapi mengingatkan kami untuk sabar menunggu istrinya yang lebih pandai bermain yungga. Istrinya yang bernama Rambu Kahitamu sedang di ladang, memanen jagung yang tiga bulan lalu disemainya. Jagung-jagung itu adalah harapan dan masa depan pasangan renta ini. 

Kami pun menunggu cukup lama, nenek Kahitamu tidak juga muncul dari arah yang ditujunjuk. Akhirnya, Jon, penghantar kami berinisitif menyusul ke kebunnya. Jaraknya cukup jauh ternyata. Melewati tiga bukit. Menurut penuturan anaknya yang tinggal tidak jauh, nenek Kahitamu hampir tiap hari beraktifitas di ladang, dengan jarak tempuh yang lumayan jauh.

Hampir satu jam kami menunggu sejak Jon menyusul ke ladang. Akhirnya, nenek Kahitamu datang juga. Guratan-guratan yang ada di wajahnya menandakan dia adalah gadis yang cukup manis pada masanya dan sangat lelah, entah dengan lelah terhadap apa. Matanya kosong memandang ke depan dan hatinya seolah berbicara.

Buru-buru, dia masuk ke suatu ruangan yang terletak dekat rumahnya yang berfungsi sebagai dapur dan termpat penyimpanan peralatan rumah tangga. ‘Gak enak kalau menyanyi tidak terlihat cantik’ katanya dengan bahasa Sumba sambil masuk ke ruangan tersebut dan membawa pakaian ganti. Tidak lama berhias. Kahitamu hanya berganti pakaian dan menyapuh keringatnya dengan air dan kain bersih. Tidak perlu bedah.

Keluar, terlihat Kahitamu lebih segar dan sumringah. Namun, perasaan senang dan duka tampaknya masih berkecamuk. Entah apa penyebabnya. Saya hanya menduga, mungkin Kahitamu senang karena yungga yang sudah lebih dari dua puluh tahun terbengkalai kini mulai kembali berdawai. Sedangkan perasaan sedih karena dia mengenal masa-masa dulu. 

Sehari sebelumnya, kami telah datang dan berkenalan dengan Kahitamu. Hari itu, kami sudah berkesimpulan Kahitamu adalah seniman tulen yang tidak akan puas tampil jika peralatan tidak mendukung. Kesimpulan kami dibangun dari melihat cara Kahitamu memegang dan memainkan yungga. Ada sentuhanyang berbeda dari banyak pemain yungga yang kami jumpai. Saat hendak menunjukkan kepiawaiannya dalam bermain yungga, dawai pada yungganya ternyata putus. Jon, pemandu kami mencoba memperbaikinya, tetapi sekali petik dawai kembali putus. 

Kami sebenarnya tidak memaksa, tetapi Jon berusaha keras memperbaiki yungga. Saat itu walau kami kecewa tidak bisa menikmati permainan yungga dari sang maestro, tetapi kami sudah cukup puas mengetahui masih ada dan bisa berjumpa dengan maestro. Sepulangnya, kami pun berkesimpulan untuk membelikan senar yang bisa dijadikan dawai. 

Namun, Jon selalu bersemangat untuk menunjukkan pada kami bahwa Kahitamu adalah maestro. Setelah senar diperoleh, esoknya kami berkunjung kembali ke rumah Kahitamu. Memberikan senar sekaligus mendengarkan bagaimana semestinya yungga dimainkan. Ternyata masalah yungga tidak hanya dawai, tetapi ada bagian ganjal dawai dan alas yang rusak. Untung, Deni, supir kami yang berasal dari Pulau Sawu sangat suka musik dan menguasai alat-alat musik. Melihat Kahitamu dan cara dia bermain sekilas, Deny sudah yakin bahwa Kahitamu adalah seniman. Deny un dengan semangat membantu Jon memperbaiki Yungga. 

Setelah Yungga dapat diperbaiki. Kahitamu pun mulai memainkan keahliannya. Beberapa kawan yang menyaksikan langsung sampai merasa merinding. Seolah angin yang berhembus dan dedauan yang bergerak mendukung permainan yungga Kahitamu. Melalui musik, Kahitamu sedang melakukan cumbuan dan rayuan terhadap alam dan alam merespon dengan caranya.

Walau jemarinya masih terlihat kaku, tetapi Kahitamu sangat menikmati memainkan yungga. Beberapa kali dia berhenti. Karena lagu yang dimainkan tergolong sakral dan hanya dimainkan ketika pagelaran tradisi namun Kahitamu tidak bisa mengontrolnya. 

Kemahiran Kahitamu dirajut sejak kecil. Ayahnya adalah pemain yungga yang selalu memainkan lagu-lagu untuk keperluan adat. Seperti panen maupun tarik batu. Ketika ayahnya bermain, Kahitamu secara seksana menyimak dan jika ada kesempatan mencoba memainkannya secara otodidak. Lama kelamaan, dia cukup mahir memainkan yungga.

Kisah romantis pun bermula, seorang lelaki muda, selalu membawa yungga dan memainkan alat musik tersebut, pada saat-saat yang tepat batin Kahitamu saat itu. Secara langsung, Kahitamu pun jatuh hati dan langsung mengangguk setuju ketika bapaknya menanyakan perjodohan.

Pasangan muda ini, selalu memainkan yungga di saat-saat senggal. Entah menuju ladang, pulang dari ladang, atau tidak ada aktifitas yang berarrti. Biasanya mereka akan menyanyikan lagu klasik Sumba, Eri Rambu Balu (Adik Sepupu), Njara Miting (Kuda Hitam), Laku La Parangga (Pergi ke Pasar), atau Rambu Mamandang (Gadis Cantik).

Kisah pasangan Nuku Nggedi Satu dan Rambu Kahitamu berbeda dengan seniman lokal lainnya. Salah satu di antaranya adalah Kabubu Pajanji atau Ama Njanji bisa disebut. Lelaki ini tinggal di desa Katikuwai. Salah satu desa tradisional yang masuk dalam zonasi khusus di Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti.

Seniman ini adalah seorang lelaki yang cacat sejak kecil. Dia tidak bisa menikmati kebebasan dan keceriaan hidup seperti yang lainnya dari bentang alam. Dia hanya bisa memandang tanpa bisa menyentuh tanah. Keceriaan dan kegembiraan justru diperoleh dari saluran lain. Musik. Melalui musik, Njanji menangkis kelamnya takdir. Musik adalah teman setia yang selalu menghibur Njanji setiap saat.

Kesenangannya pada musik telah dipupuk sejak dia masih kanak-kanak. Wajar jika Njanji sudah mahir dalam bermain musik. Dalam bermain musik, Njanji selain memainkan nyanyian yang sudah cukup populer bagi masyarakat Desa juga memainkan lagu ciptaannya sendiri.

Salah satu lagu ciptaannya yang kerap dimainkan adalah na hirumanu (berburu burung). Lagu ini berkisah tentang usaha berburu ayam dengan memasang perangkap. Namun burung tidak juga terjerat. Lagu ini adalah ungkapan atau jeritan njanji terhadap situasi yang dihadapinya.

Masyarakat atau tetangganya sering juga datang ke rumahnya, sekadar untuk mendengarkan Njanji bermain musik. Para tetangga juga seringkali meminta Njanji untuk memainkan lagu yang diciptakannya. Tidak jarang, tetangga juga meminta Njanji untuk menciptakan lagu terkait dengan pengalaman pribadinya masing-masing. Tidak setiap permintaan dipenuhi, Njanji akan membuat lagu jika cerita yang disampaikan sesuai dengan suasana batinnya.

Inilah sekelumit catatan yang bisa kami sajikan dari kegiatan ekspedisi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ke Pulau Sumba pada bulan April sampai dengan Mei 2016 lalu. Dalam ekspedisi ke Pulau Sumba tahun ini, LIPI menugaskan 33 orang peneliti dari lintas satuan kerja yang terdiri Pusat Penelitian Biologi (Bidang Botani, Bidang Zoologi, Bidang Mikrobiologi), Kebun Raya (Kebun Raya Bogor dan Kebun Raya Cibodas), Pusat Penelitian Biomaterial, Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya. Turut serta dalam ekspedisi ini adalah Tim dari Pustekkom (Kemendikbud) yang membuat video ajar tentang ilmu pengetahuan, khususnya biologi dengan narasumber para peneliti ketika sedang di lapangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement