Ahad 18 Dec 2016 14:13 WIB

Pemerintah Didesak Segera Sahkan RUU Pekerja Migran

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Esthi Maharani
Para pekerja migran tengah mengurus perizinan di kantor imigrasi Malaysia.
Foto: themalaysianinsider.com
Para pekerja migran tengah mengurus perizinan di kantor imigrasi Malaysia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mendorong pemerintah dan DPR segera mengesahkan rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI). KPI menilai proses pembahasan RUU ini sangatlah lamban.

Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Nisaa Yura mengatakan UU no 39 tahun 2004 menempatkan para buruh migran perempuan sebagai komoditas sehingga rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, serta pelanggaran hak.

"Lebih dari 12 tahun, negara gagal dan membiarkan perempuan buruh migran mengalami kekerasan dan pelanggaran hak akibat lambannya pembahasan revisi UU buruh migran," kata Nisaa di Jakarta, Ahad (18/12).

Proses pembahasan revisi UU yang lamban ini juga dinilainya tak membahas mengenai perombakan sistem yang menyeluruh untuk menghasilkan perlindungan bagi perempuan buruh migran dan keluarganya berdasarkan Konvensi Migran 90 dan CEDAW.

Solidaritas Perempuan mencatat mayoritas perempuan buruh migran mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak seperti eksploitasi jam kerja, pemotongan atau tidak dibayar gaji, kekerasan fisik dan psikis, perdagangan manusia, dll.

"Berbagai kasus terus terjadi dan dialami perempuan buruh migran dan sayangnya pemerintah tidak mampu membangun mekanisme yang sistematis, termasuk posisi tawar di dalam perlindungan hak perempuan buruh migran," ucap dia.

Berdasarkan catatan Solidaritas Perempuan, sejak 2012 hingga Februari 2015, sebanyak 106 kasus kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran telah ditangani. Menurut dia, lambannya pembahasan revisi UU ini juga menyebabkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak strategis dalam mengatasi permasalahan. Hal inipun menurut dia justru semakin mendiskriminasikan posisi perempuan.

"Kebijakan ini melanggar Konvensi Migran 90 dan CEDAW yang menjamin hak mobilitas setiap orang termasuk untuk bekerja di luar negeri," kata Nisaa.

Dari hasil pendataan kasus terlibat adanya indikasi praktik perdagangan melalui perekrutan yang tak prosedural yang mencakup iming-iming, eksploitasi, serta pemalsuan identitas terhadap perempuan buruh migran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement