Kamis 15 Dec 2016 18:34 WIB

Ini Kronologi KPK Tangkap Pejabat Tinggi Bakamla

Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan), bersama Wakil Ketua KPK Laode M.Syarif (tengah), dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kiri), memberikan pemaparan saat memberikan keterangan pers mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Deputi Bakamla, di Gedung KPK,
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan), bersama Wakil Ketua KPK Laode M.Syarif (tengah), dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kiri), memberikan pemaparan saat memberikan keterangan pers mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Deputi Bakamla, di Gedung KPK,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menjelaskan penangkapan Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi.

"KPK menggelar OTT (Operasi Tangkap Tangan) terhadap 4 orang pada Rabu, 14 Desember 2016 di 2 lokasi terpisah di Jakarta terhadap ESH (Eko Susilo Hadi) selaku Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla merangkap Kuasa Pengguna Anggaran, HST (Hardy Stefanus) dari swasta, MAO (Muhammad Adami Okta) pegawai PT MTI dan DSR (Danang Sri Radityo) swasta pegawai PT MTI," kata Agus dalam konferensi pers di gedung KPK di Jakarta, Kamis (15/12).

Agus menjelaskan Haryd dan Muhammad Adami datang ke kantor Eko di Jalan Sutomo Jakarta Pusat untuk menyerahkan uang. Usai menyerahkan uang, keduanya keluar dari kantor lalu petugas KPK mengamankan HST dan MAO.

"Kemudian petugas mengamankan ESH di ruang kerja dan uang total uang Rp2 miliar dalam mata uang dolar AS dan dolar Singapura lalu membawa keempatnya ke gedung KPK. Sejam kemudian KPK mengamankan DSR di kantor PT MTI di Jalan Imam Bonjol," jelasnya.

Uang diduga pemberian kepada Eko yang merupakan mantan Pelaksana Tugas Sekretaris Utama (Plt Sestama) Bakamla terkait pengadaan alat monitoring satelit 2016 yang bersumber dari pendanaan APBN-P 2016.

"Nilai proyeknya sekitar Rp200 miliar, sedangkan secara keseluruhann Rp400 miliar untuk monitoring satelit. Dari info yang kami dapat persetujuan 'commitment fee' adalah sekitar 7,5 persen dan sepertinya ini pemberian yang pertama," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif yang juga hadir dalam konferensi pers.

Saat proses penangkapan, menurut Laode, tidak ada perlawanan dari orang-orang yang diamankan dan keempatnya kooperatif. Laode mengatakan jika melihat kronologinya, pengadaan ini adalah anggaran APBN-P 2016.

"APBN-P sendiri dikurangi karena negara sedang mengalami kesulitan karena pengumpulan penerimaan tidak sesuai rencana APBN-P. Seharusnya anggaran benar-benar untuk kegiatan prioritas tapi ternyata APBN-P juga masih ada korupsi, kita harus prihatin betul," tambah Agus.

Dari empat orang tersebut, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka. Sebagai tersangka penerima suap KPK menetapkan Eko Susilo Hadi dengan sangkaan pasal 12 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

KPK juga menetapkan Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta dan direktur PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah sebagai tersangka pemberi suap berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

"DSR statusnya hingga saat ini hanya sebagai saksi," kata Agus. Sementara Fahmi Darmawansyah keberadaannya masih dicari.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement