Selasa 13 Dec 2016 17:40 WIB

Penyebab Masih Rendahnya Indeks Inovasi Indonesia

Rep: Halimatus Sadiyah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Industri konveksi.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Industri konveksi. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia saat ini berada pada urutan ke-32 dari 138 negara dalam Global Competitiveness Indeks (GCI). Direktur Jenderal Kelembagaan Iptekdikti Kemenristek Dikti Patdono Suwignjo mengatakan, masih rendahnya indeks tersebut karena inovasi-inovasi yang dihasilkan Indonesia belum memiliki dampak yang besar bagi masyarakat.

Padahal, menurut Patdono, faktor penentu dari inovasi atau riset yang bermanfaat bagi masyarakat luas yakni adanya hilirisasi dari hasil penelitian tersebut. "Hilirisasi hasil penelitian adalah ujung dari kegiatan penelitian yang mempunyai dampak bagi kesejahteraan masyarakat dan perekonomian nasional," ujarnya, dalam acara Workshop Menuju Hilirisasi Produk Unggulan Pusat Unggulan Iptek, Selasa (13/12).

Saat ini, upaya yang dilakukan Kemenristek Dikti untuk memperkuat inovasi dari sisi kelembagaan adalah melalui pengembangan Pusat Unggulan Iptek (PUI). Selanjutnya, salah satu kapasitas yang dikembangkan dalam pembinaan PUI yakni kapasitas hilirisasi (disseminating capacity). Hilirisasi ini ditujukan untuk mendorong produk-produk PUI masuk dalam tataran industrialisasi.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat teknologi Wendy Aritenang menyebut bahwa hilirisasi produk IPTEK tak harus barang dengan teknologi yang tinggi. Ia mencontohkan, daripada mengembangkan produk berteknologi tinggi seperti laptop, ponsel atau bahkan mobil, lebih baik Indonesia fokus melakukan hilirisasi pada produk-produk pertanian yang memiliki keunggulan komparatif tinggi dibanding negara lain.

"Contoh kecilnya seperti sereal atau muesli. Kan kita punya jagung, beras merah, pisang. Itu kalau dilakukan hilirisasi menjadi produk sereal akan bagus sekali. Tidak mungkinlah Inggris atau Amerika bersaing dengan kita, lain geografisnya," ujar Wendy, yang juga mantan Deputi Menristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Iptek tersebut.

Sebab, kata dia, secara hitung-hitungan pasar, produk elektronik dari Cina atau Amerika yang sudah mendominasi market pasti lebih disukai konsumen. Masyarakat umumnya rela membeli barang yang sedikit lebih mahal untuk produk yang sudah diketahui kualitasnya.

Kendati begitu, menurut Wendy, bukan berarti pengembangan produk Iptek seperti itu tidak perlu dilakukan. Indonesia, kata dia, tetap perlu mengembangkan inovasi di bidang elektronik dan otomotif. Namun, biasanya untuk sampai pada tahap produksi, Indonesia membutuhkan substitusi impor yang berarti faktor konten inovasinya lebih rendah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement