Senin 12 Dec 2016 13:14 WIB

Nabi Muhammad SAW: Teladan Bagi Pejabat Publik

 Anies Baswedan
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Anies Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anies Baswedan

Bulan ini, umat Islam berada di dalam suasana bahagia sekaligus takzim dalam mengenang kehadiran kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di sepanjang gang-gang dan jalan-jalan yang saya lalui di kota Jakarta yang saya tinggali, seruan untuk mengikuti pengajian atau berbagai kegiatan lain yang berkaitan dengan Maulid Nabi membahana. Yang menyelenggarakan juga beragam, mulai dari Masjid kampung, majelis taklim, kampus, hingga perkantoran. Bagi umat Islam di seluruh dunia, ini adalah saat yang istimewa.

Nabi Muhammad SAW bukan hanya sosok yang penting untuk umat Islam saja. Para cendekiawan dari beragam latar belakang, termasuk mereka yang belum mengimaninya, menyepakati bahwa beliau adalah tokoh besar yang telah menciptakan perubahan dunia. Ada yang menempatkannya sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah dunia, ada pula yang mengagumi keberhasilannya mengubah kaum yang tidak dikenal dari wilayah yang tidak diperhitungkan menjadi guru bagi dunia dalam etika dan ilmu pengetahuan. Tentu saja, bagi kita yang mengimaninya, Nabi Muhammad SAW adalah uswatun hasanah (suri teladan yang baik) dalam berbagai dimensi kehidupan, sebagaimana tercantum di dalam Surah Al Ahzab ayat 21.

Teladan bagi pejabat publik

Sebagai seorang pribadi, beliau adalah pribadi yang paling mempesona. “Akhlaqnya adalah Alquran,” tutur Aisyah RA sambil sesenggukan haru saat ditanya mengenai perangai Nabi. Sebagai seorang suami, ia adalah suami yang paling penuh kasih sayang, sehingga di sela-sela kesibukan beliau membimbing ummat pun beliau masih sempatkan berlomba lari dengan istri atau bahkan menggendongnya untuk melihat pertunjukan.

Sebagai sahabat, semua orang yang disekelilingnya merasa menjadi orang yang paling dikasihi oleh beliau saking berlimpahnya kasih sayang beliau kepada semua orang. Beliau juga seorang pemimpin, pedagang, orator, diplomat, guru, mentor, dan aktivis sosial yang menjadi teladan dan inspirasi dalam apapun yang dilakukannya.

Sebagai seseorang yang memilih pelayanan publik sebagai pilihan kontribusi bagi umat dan bangsa, saya merasakan secara mendalam bahwa momentum mengenang kelahiran Nabi Muhammad SAW ini penting. Ini adalah saat untuk merenung dan menggali keteladanan beliau dalam salah satu dimensi kehidupannya: sebagai pejabat publik. Dalam menjalankan peran beliau sebagai Rasul, Nabi Muhammad juga menjalankan peran sebagai seorang pejabat publik yang mengurusi urusan masyarakat.

Beliau adalah pemimpin yang melayani masyarakat dalam berbagai hal, dari soal pemberdayaan masyarakat, distribusi kesejahteraan, pengelolaan keuangan, sampai soal perlindungan sosial. Beliau mengelola masyarakat yang sangat beragam: ada penduduk tempatan dengan sejarah konflik, pengungsi dari Makkah, imigran dari Persia dan Ethiopia, dengan berbagai latar belakang sosial, politik dan ekonomi.

Bagi kita yang memilih pelayanan publik sebagai jalan kontribusi, beliau adalah mata air keteladanan yang tak pernah kering. Bagi masyarakat luas, beliau dapat menjadi patokan, benchmark, untuk menilai pejabat publik yang sedang atau akan mengelola urusan kita.  

Tiga Pelajaran

Renungan saya mengantarkan pada pelajaran mengenai tiga karakter yang harus ada pada seorang pejabat publik yang sesungguhnya adalah pelayan masyarakat.  

Pelajaran pertama adalah integritas. Konsistensi antara niat, kata dan perbuatan. Nabi Muhammad dikenal sebagai Ash-shidiq Al Amin, orang yang benar lagi terpercaya. Saking masyhur dan tidak terbantahkannya integritas Nabi, bahkan musuh-musuhnya pun tidak ragu untuk menitipkan barang kepadanya. Kebencian mereka pada Nabi bahkan tidak bisa mengalahkan kepercayaan mereka pada integritas orang yang mereka musuhi itu. Jika politisi dan pejabat publik kita mampu membangun sifat ini, niscaya banyak masalah yang dapat kita atasi sebagai bangsa.

Integritas bagi pemimpin dan pejabat publik juga muncul dalam keberanian untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh mereka yang dipimpinnya. Riwayat dalam Sirah menyebutkan bahwa menjelang Perang Uhud, Nabi sebenarnya menghendaki kaum muslimin bertahan di dalam kota saja.

Namun, semangat dari kaum muda membuat musyawarah yang diselenggarakan oleh Nabi akhirnya memutuskan bahwa mereka akan menyongsong para penyerang di padang di luar kota. Saat akhirnya kaum Muslimin mengalami kekalahan dan kaum munafik menebar perpecahan dengan menyalahkan mereka yang menolak ide Nabi bertahan di kota, Nabi Muhammad SAW membela keputusan itu.

Ini adalah pelajaran soal integritas pemimpin: pemimpin yang baik berani bertanggung jawab saat timnya gagal dan memberi apresiasi kepada timnya saat berhasil. Pemimpin yang buruk mencaci maki anak buahnya saat gagal dan mengklaim keberhasilan orang lain sebagai keberhasilan dirinya sendiri.  

Pelajaran kedua adalah empati. Pemimpin dan pejabat publik harus memiliki empati, karena ia adalah awal dari kemampuan untuk menemukan solusi yang kreatif. Seorang pemimpin dan pejabat publik melayani masyarakat, tidak hanya orang-orang yang memilihnya saja. Karena itu, ia harus memikirkan dan memahami kepentingan dari beragam pihak.

Sebuah kebijakan tidak harus menjelma menjadi simalakama yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lain. Empati Nabi Muhammad pada semua tetua suku yang berseteru soal siapa yang harus memindahkan Hajar Aswad akhirnya mengantarkan beliau untuk memberikan solusi yang memenangkan semua orang. Beliau bentangkan kain meletakkan Hajar Aswad di atasnya, lalu mengajak semua pimpinan kabilah untuk memindahkan Hajar Aswad bersama-sama dengan memegang ujung-ujung kain tersebut.

Pemimpin harus bisa menyatukan. Hanya empati yang mampu membuatnya menjadi pemersatu. Pejabat publik tidak boleh terjebak pada solusi yang tanpa empati. Pemimpin harus mampu mendengar dan tidak menganggap hanya dirinya sendirilah yang paling benar. Nabi berkenan dikritik dalam strategi Perang Badar, dan kritik itu menjadi salah satu kunci bagi kemenangan yang mengubah arah sejarah itu. Nabi bahkan mendengar ide-ide yang aneh, seperti penggalian parit yang tidak lazim bagi bangsa Arab saat itu.

Dalam mengelola masyarakat yang kompleks seperti Jakarta, tidak bijak untuk menciptakan zero sum game, seperti  dalam masalah penggusuran. Seakan-akan penanggulangan banjir harus dilakukan tanpa mendengar suara dari mereka yang tinggal dan hidup di pinggir-pinggir sungai itu. Padahal, jika pengambil kebijakan mau lebih mendengar, mungkin kita akan menemukan solusi-solusi kreatif yang baik untuk semua.

Pelajaran ketiga adalah kemampuan untuk membangun dan mengkomunikasikan visi. Seorang pejabat publik harus berpikir jangka panjang, karena masalah yang dihadapi tidak hanya akan berdampak pada hari ini saja. Bahkan, solusi yang diambil pun akan memiliki dampak bagi masa depan.

Pejabat publik tidak boleh mengorbankan masa depan untuk citra dengan berfokus pada pekerjaan yang terlihat indah tapi tidak menyelesaikan masalah. Saat seorang malaikat menanyakan apakah orang-orang Thaif yang melemparinya dengan batu itu ditimpa gunung saja, Nabi tidak hanya menunjukkan empati dan kasih sayang dengan menolak usul malaikat itu. Nabi juga menunjukkan bahwa beliau visioner dengan mengatakan bahwa “dari sulbi mereka akan lahir orang-orang yang beriman kepada Allah dan hanya menyembah kepadaNya.”

Allahumma shallii ‘alaa Muhammad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement