REPUBLIKA.CO.ID, MEUREUDU -- "Entah sekarang kami mau kemana, mau masuk rumah sudah tidak mungkin. Lihat itu banyak retak-retak, bahaya," kata Murniati, warga Pangwa yang rumahnya tepat di samping masjid.
"Paling kami mau ke tempat pengungsian saja, sekalian cari makan," katanya kepada Antara di Meureudu, Jumat.
Dirinya yang tengah berbincang-bincang dengan tetangganya itu, menyebutkan hampir seluruh rumah di gampongnya - kampung - mengalami kerusakan dan tidak berani dihuni lagi.
Kerusakan itu terlihat dari temboknya yang retak memanjang dari bawah ke atas dan jika digoyang gempa sekali lagi, sudah dipastikan bakal ambruk.
Masih beruntung Murniati dibandingkan tetangganya, yang atap rumahnya terbuat dari seng sudah lepas menjuntai ke depan rumah. Hingga bentuk rumah tertutup atapnya.
"Guncangan gempanya besar sekali, saya saja sempat tertimpa lemari tiga pintu," katanya.
Entah ada kekuatan besar, dirinya bisa melepaskan diri dari lemari ukuran besar itu dan langsung menyelamatkan diri ke luar rumah. "Saya lari ke daerah atas, khawatir tsunami," katanya.
Kekhawatiran tsunami teramat besar mengingat rumahnya yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai itu. "Saya sampai sekarang masih takut, gempa dari kemarin masih terjadi berulang-ulang," katanya.
"Gempa kali ini tubuh saya benar-benar dikocok-kocok, sampai-sampai saya tidak bisa merangkak, kata Rajali (60), warga Masjid Tuha, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh," ceritanya.
Gempa tektonik 6,5 pada skala Richter yang terjadi pada Rabu (7/12) pagi itu merupakan pengalaman menyeramkan seumur hidupnya.
Menurut dia, goyangan gempa itu berbeda dengan gempa besar pada 2004 yang disertai dengan tsunami. Hal itu dirasakan pula oleh sejumlah warga lainnya. Sedangkan saat gempa besar pada 2004, kata Rajali, tubuh seakan-akan diayun-ayun saja.
"Saya sampai sekarang masih takut, belum berani pulang. Lebih baik tidur di luar rumah saja. Rumah saya juga rusak," katanya menerawang.