Kamis 08 Dec 2016 08:37 WIB

KLHK Tata Kebijakan Alokasi Kehutanan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kiri), dan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerent menggelar konferensi pers seusai Perayaan Lisensi FLEGT di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Kamis (24/11).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kiri), dan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerent menggelar konferensi pers seusai Perayaan Lisensi FLEGT di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Kamis (24/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menata kembali kebijakan alokasi sumber daya alam. Termasuk di dalamnya hutan dengan melakukan berbagai perbaikan dalam hal kebijakan.

"Kebijakan ini harus dilakukan untuk mewujudkan cita-cita keadilan bagi rakyat banyak," ujar Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, di Jakarta, Kamis (8/12).

Hal itu dilakukan sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo pada pertemuan dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) pada 12 Februari 2016, bahwa harus ada pergeseran orientasi pengelolaan hutan Indonesia, dari yang bertumpu pada pemanfaatan hutan alam ke arah pemanfaatan hutan tanaman. "Pada konteks kita sekarang dan dalam kaitan dengan APHI, dalam bahasa terang, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam perspektif baru akan bergandengan menyongsong kemajuan industri pengolahan kayu Indonesia," tambah Menteri Siti.

Dia menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi catatan dan pertimbangan dalam pemantapan strategi induk industri pengolahan kayu dari hulu hingga hilir. Terutama untuk memaksimalkan langkah-langkah strategis dalam mengangkat optimisme dan menjadikan kembali industri pengolahan kayu berjaya, agar bisa memberi kontribusi besar dalam struktur ekonomi dan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Menteri Siti menjelaskan, dari hasil bedah kinerja yang dilakukan oleh KLHK,terdapat beberapa persoalan seperti melemahnya poduktivitas industri akibat berbagai faktor fisik maupun sosial ekonomi. Beberapa masalah mendera mulai persepsi publik belum positif, interlink industri hulu-hilir belum cukup ideal dan diantaranya juga berciri paradoks; rantai bisnis serta dukungannya belum cukup kuat seperti infrastruktur dan sumber bahan bahan baku serta finansial.

"Apalagi bila dikaitkan dengan cukup banyaknya distorsi atau peristiwa-peristiwa lokalitas konflik tenurial yang sedikit banyak diantaranya dapat mengguncang usaha," kata Menteri Siti.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement