Rabu 07 Dec 2016 01:00 WIB

Menuruti Kehendak Mayoritas?

Aksi Super Damai 212 : Foto aerial ribuan umat Islam melakukan zikir dan doa bersama saat Aksi Bela Islam III di kawasan Bundaran Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (2/12).
Foto: Republika/Prayogi
Aksi Super Damai 212 : Foto aerial ribuan umat Islam melakukan zikir dan doa bersama saat Aksi Bela Islam III di kawasan Bundaran Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (2/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aditya Permana SFil MHum *)

Menjelang pergantian tahun ini, politik Indonesia mengalami beberapa peristiwa besar yang mengusik normal politics (1) dalam exercise of power demokrasi Indonesia. Dua peristiwa yang menjadi catatan khusus dalam konteks ini adalah aksi massa 411 dan 212. Peristiwa semacam ini dapat dikategorikan sebagai bentuk baru social movement berbasis agama yang unik karena terjadi dalam sebuah negara demokrasi pluralistik. Unik, karena dilakukan oleh 'mayoritas' muslim yang membuktikan bahwa kekuatan Islam masih menjadi kekuatan yang perlu diperhitungkan dalam peta politik nasional, serta 'menggeser' dominasi dua organisasi massa Islam terbesar Indonesia, NU dan Muhammadiyah.

Dalam filsafat politik, gerakan massa yang mengusik normal politics semacam ini disebut sebagai politics of the extraordinary (Andreas Kalyvas, 2008). Berdasarkan kedua peristiwa yang terjadi, sulit untuk tidak mengatakan bahwa kedua aksi massa tersebut, betapapun berbeda makna dan tuntutannya, adalah aksi yang mengukuhkan tegangan antara kaum mayoritas dan minoritas; problem laten bangsa ini yang selalu mengemuka dalam pelbagai bentuknya.

Kita dapat memahami alasan aksi massa yang pertama, 411, yakni tuntutan kepastian hukum atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh gubernur non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama. Sedangkan aksi 212 yang dilakukan dalam konteks terpenuhinya sebagian tuntutan hukum tersebut dapat dianggap memiliki makna yang berbeda. Sebagian pengamat mengatakan bahwa aksi 212 menunjukkan pesan-pesan simbolis tentang ketidakmampuan pemerintah mengelola masalah-masalah sosial, termasuk penegakan hukum dan keadilan serta relasi mayoritas- minoritas.

Dalam negara demokrasi pluralistik seperti Indonesia, tegangan antara 'mayoritas' dan 'minoritas' memang tak terhindarkan dan acap menjadi sumber konflik sosial. Penyebutan 'mayoritas' dan 'minoritas' memang memuat potensi kekeliruan politik (political incorrectness) yang besar dan berisiko mempertajam perbedaan dan konflik.

Namun perlu diakui bahwa kedua aksi tersebut setidaknya dapat dibaca sebagai vulgar display of power kelompok 'mayoritas'. Akan tetapi pengakuan (recognition) semacam ini, betatapun riskan, tetap mesti dilakukan, justru demi mencapai solusi yang adekuat dalam persoalan ini. Dengan secara jujur menunjuk pihak-pihak yang berkonflik, maka solusi bersama dapat dicapai.

Dalam konteks demikian, kita anggap politik sebagai sebuah 'panggung', di mana kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok masyarakat dipertontonkan (displayed). Dalam filsafat politik Claude Lefort (1988), pertanyaan-pertanyaan mengenai politik hanya dapat muncul ketika suatu peristiwa politis memenuhi tiga syarat, yakni mise en sens (diberi makna), mise en scène (dipanggungkan/ditampilkan/dipertontonkan), dan mise en forme (diberi bentuk/definisi).

Sesuatu disebut sebagai peristiwa 'politis' sendiri jika peristiwa tersebut 'mengganggu' (disrupting) normal politics. Di sinilah Lefort membedakan politik (dalam konteks normal politics yang 'ontis') dan 'yang politis' (the political, yang bernuansa 'ontologis'). Politik normal merupakan 'representasi' kekuasaan yang menyelimuti masyarakat setempat.

Politik normal merupakan wajah dari masyarakat yang relasi kekuasaannya dapat berupa masyarakat demokratis, monarkis, sosialis, dan seterusnya. Masyarakat, dengan demikian, adalah 'quasi-representasi' (2) dari 'yang politis', yang kemudian direpresentasikan lebih lanjut dalam politik kenegaraan sebagai pemegang kekuasaan yang “nyata”/otoritatif.

Lefort sendiri menyatakan bahwa relasi kekuasaan dalam masyarakat tergantung dari exercise of power yang melibatkan kelompok-kelompok yang bersaing dalam masyarakat. Bagi Lefort, dasar dari adanya masyarakat justru ditemukan dalam konflik. Tidak ada masyarakat tanpa konflik, dan sebaliknya, konflik adalah dasar dari masyarakat itu sendiri.

'Yang politis' merupakan 'gangguan' dalam politik normal, dan gangguan ini dilakukan oleh kelompok yang terganggu kepentingannya dan membuat 'patahan' atau disrupsi dalam panggung politik normal dan menciptakan 'the moment of the political' (momentum dari yang politis). Dalam kasus kita, 'the moment of the political' ini terjadi ketika massa melakukan aksi yang mampu 'memaksa' pemerintah menjalankan peran idealnya. Sebagai catatan, dalam politik normal, dugaan pelanggaran hukum semestinya langsung direspon dan diproses oleh pemerintah tanpa menunggu adanya disrupsi massa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement