Selasa 06 Dec 2016 12:46 WIB

Pengamat: Polisi Harus Hati-Hati Gunakan Tuduhan Makar

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Anggota Brimob Polri memperketat pengamanan pascapenangkapan sejumlah tokoh dalam kasus dugaan makar di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/12).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Anggota Brimob Polri memperketat pengamanan pascapenangkapan sejumlah tokoh dalam kasus dugaan makar di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting berharap aparat kepolisian cermat dan hati-hati dalam menerapkan tuduhan makar. Hal ini berkaitan dengan penangkapan 11 tokoh sebelum aksi damai Bela Islam III pada Jumat (6/12) yang dituduh melakukan percobaan makar.

Menurutnya, makar bukan tindak pidana yang berdiri sendiri melainkan unsur dari tindak pidana. Istilah makar yang dalam bahasan Belanda adalah anslaag, yang berarti serangan yang berat, menjadikan unsur utama dari tuduhan makar adalah apakah ada serangan yang berat.

"Apabila tidak ada serangan yang berat, maka tuduhan makar tidak terpenuhi. Kepolisian sebaiknya cermat dan hati-hati dalam menerapkan tuduhan ini agar penegakan hukum berjalan tepat pada relnya," ujar Miko kepada wartawan, Selasa (6/12).

Menurutnya, ia sendiri tidak bisa menilai apakah tuduhan makar terhadap 11 tokoh memang sesuai atau tidak. Pasalnya, pihak kepolisian yang lebih mengetahui bukti dan fakta mendalam terkait hal tersebut.

"Tidak ada makar tanpa serangan yang berat. Hingga hari ini hanya Kepolisian yang mengetahui fakta dan buktinya secara mendalam. Yan pasti pihak Kepolisian harus cermat, hati-hati, dan akuntabel dalam penegakan hukum ini," ungkap Miko.

Sementara, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengecam tuduhan makar terhadap 11 tokoh tersebut. Menurutnya, tindakan Polri itu dapat disebut sebagai perampasan hak atas kebebasan berpolitik.

Hal ini lantaran, kegiatan yang dilakukan para tokoh itu menyampaikan kebebasan berpendapat dan menyebarluaskan pendapat mereka baik melalui media cetak maupun elektronik.

"Apa dengan sepucuk surat bisa menggulingkan Presiden Jokowi dan membubarkan pemerintahannya, bukankah surat itu dilayangkan ke MPR? Sungguh berlebihan, seseorang mengeluarkan pendapat yang disampaikan ke MPR justru diubah jadi kejahatan makar," ujar Badan Pengurus Nasional PBHI, Suryadi Radjab dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (6/12).

Selain itu, Polri juga telah bertindak berlebihan karena melarang kebebasan berkumpul atau mengadakan pertemuan untuk seseorang melakukan kesepakatan. Dengan dalih perbuatan para tokoh itu, merupakan rencana pemufakatan jahat untuk makar.

Padahal tidak seorang pun yang memiliki senjata api untuk melakukan pemberontakan, sebagaimana unsur dalam tindak pidana makar. "Tidak seorang pun yang berperan sebagai komandan pasukan bersenjata untuk menyerang Istana Negara. Mereka juga tidak dalam keadaan sedang menjalankan misi “gerilya kota” untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Jokowi," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement