Sabtu 03 Dec 2016 12:08 WIB

Kembali Berkayu Bakar Akibat 'Si Melon' Langka

Saib (60) memasak menggunakan kayu bakar di rumahnya di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Saib (60) memasak menggunakan kayu bakar di rumahnya di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, CIAMIS -- Sejumlah ibu rumah tangga di wilayah Sukadana Kabupaten Ciamis memilih kembali menggunakan kayu bakar. Kondisi sebagai akibat ‘si melon’ atau elpiji ukuran 3 kilogram kerap langka di pasaran.

        

"Elpiji si melon kerap langka di pasaran, daripada tidak memasak lebih baik pakai kayu bakar saja, kembali ke tungku," kata Ny Enok (60 tahun) warga di Sukadana Kabupaten Ciamis, kemarin.

        

Ia menyebutkan, elpiji bersubsidi tersebut beberapa kali terjadi kekosongan di tingkat agen maupu  pengecer. Akibatnya, warga yang kehabisan elpiji harus menunggu lama untuk mendapatkan pasokan. Terutama menjelang akhir tahun, kelangkaan si melon lebih sering terjadi.

               

Oleh karena  itu, warga di sekitar itu memutuskan kembali ke kayu bakar. Menggunakan kembali tungku dan anglo yang selama ini jarang digunakan, dan baru digunakan saat elpiji habis. "Kalau keseringan pakai tungku, kan sama saja kembali ke kayu bakar," katanya.

        

Hal senada juga diungkapkan oleh Ny Unilah yang juga belakangan lebih sering menggunakan kayu bakar dari pada elpiji. "Mau apa lagi, kalau nggak ada kan ada kayu bakar. Tapi memang beberapa bulan ini lebih sering menggunakan kayu bakar karena elpiji melon sering tidak ada di warung," katanya.

         

Kelangkaan elpiji si melon juga kerap terjadi di wilayah Kabupaten Bandung dan merepotkan ibu rumah tangga di daerah itu.

         

"Bayangkan pekan lalu, elpiji tidak ada di agen hingga sepekan. Bahkan di rumah saya sampai tak bisa memasak hingga dua hari. Untuk gunakan kayu bakar, saya sudah tidak punya tungku lagi," katanya.

         

Sejumlah penjual elpiji malah memperkenalkan ukuran 5,5 kilogram atau elpiji tabung berwarna 'pink'. Namun warga enggan membeli lagi tabung pink itu karena harganya mahal.

         

"Ada juga yang sistem barter, dua si melon tambah uang Rp 150 ribu jadi satu tabung elpiji 5,5 kg. Tapi saya masih pikir-pikir, takut tabung 5,5 kg juga nanti sulit seperti si melon," katanya.

         

Sementara itu sejumlah agen penyaluran elpiji 3 kg juga mengeluhkan pasokan yang dibatasi, sehingga banyak tabung kosong yang menumpuk di kiosnya. "Silakan lihat di gudang saya, semuanya kosong, warga sering tidak percaya padahal pasokan memang dibatasi," kata salah seorang pedagang elpiji 3 kg di Cipara Kabupaten Bandung.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement