REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pendekatan agroekologi dinilai bisa menjadi alternatif bagi model pembangunan pertanian di masa mendatang. Negara-negara maju seperti Prancis, Jerman dan beberapa negara Amerika Latin telah menerapkan model ini dan terbukti mampu menjawab kebutuhan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani.
''Namun sayang agroekologi ini tidak dipilih menjadi kebijakan karena dianggap tidak memiliki produkitivitas tinggi,'' kata Ketua Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dr. Suryo Wiyono, dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Kamis (1/12).
Suryo menyampaikan hal tersebut sebagai benang merah dari diskusi bertema Agroekologi Jalan Lurus Kedaulatan Pangan yang diselenggarakan oleh Departemen Proteksi Tanaman IPB, Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) IPB, dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) di Kampus IPB Darmaga, Selasa (29/11).
Menurut Suryo kebanyakan masyarakat, termasuk para ahli dan pengambil kebijakan menganggap bahwa produksi yang tinggi harus dilakukan dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Sebaliknya, kata dia, kalau praktik ramah lingkungan itu dinilai memiliki produksitas rendah. ''Padahal anggapan tersebut bertentangan dengan hasil penelitian dan fakta di lapangan,'' ujarnya.
Suryo menyatakan penggunaan pestisida kimia sintetik yang salah dan berlebihan pada tanaman padi telah memacu ledakan wereng coklat dan epidemi penyakit blas. Salah satu bentuk penerapan prinsip agroekologi yang dikembangkan Proteksi Tanaman IPB yaitu Teknologi Pengendalian Hama Terpadu Biointensif Padi sawah yang sudah diuji di 19 lokasi. ''Teknologi ini menurunkan penggunaan pupuk kimia, mengurangi pestisida 100 persen dan meningkatkan produksi padi rata-rata 27 persen.''
Sementara itu Koordinator KRKP, Said Abdullah, mengatakan nawa cita telah mengamanatkan perwujudan kedaulatan pangan. Agroekologi merupakan jalan untuk mewujudkannya karena menjadi salah satu pilar kedaulatan pangan. ''Agroekologi mengusung nilai-nilai keberagaman, keberlanjutan dan juga keadilan dalam pembangunan pertanian dan hal ini yang belum nampak,'' ujar Said.
Menurutnya, agroekologi merupakan bentuk produksi pertanian yang memungkinkan terjadinya proses mengatur dan membangun komunitas untuk menentukan nasib sendiri. Agroekologi mensyaratkan masyarakat memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya lokal seperti tanah, air dan benih. ''Tujuan agroekologi adalah untuk mencapai lingkungan yang seimbang dengan hasil yang berkelanjutan, didukung regulasi dan desain diversifikasi agroekosistem dan penggunaan teknologi rendah input,'' jelasnya.
Sementara itu, Dodik Ridho Nurrochmat, Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB, agroekologi harus menjadi paradigma bersama semua sektor dan menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan. Egoisme sektoral, kata dia, harus dipinggirkan.
''Pencapaian kedaulatan pangan melalui agroekologi memerlukan dukungan dan sinergitas antar sektor, mulai dari memastikan kecukupan lahan, bibit unggul, saprotan, pasca panen, sampai dengan aspek pemasaran dan kesiapan sumberdaya manusia,'' katanya.