REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Hari Guru Nasional 2016, menjadi momentum tepat bagi pemerintah agar memperhatikan nasib guru. Terutama guru tidak tetap di wilayah-wilayah terpencil.
Menurut Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Abdullah Syam, mereka masih digaji dengan sukarela serta banyak yang belum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Ia meminta rekruitmen guru dilakukan secara bertanggung jawab, dengan melalui kontrak. Pengangkatan mereka juga harus mempertimbakan kemampuan dan kelayakan. Ia menilai membiarkan guru honorer nasibnya menggantung juga tak bijak.
“Guru merupakan pembentuk manusia berkualitas. Bila kualitas guru masih di bawah standar, bagaimana bisa menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas,” kata Abdullah Syam dalam keterangan persnya kepada Republika.co.id di Jakarta, Sabtu (26/11).
Ia meminta para kepala daerah yang memiliki puluhan ribu guru honorer memperhatikan kesejahteraan mereka. Pada tahun 2000, jumlah guru honorer 84 ribu dan pada 2015 angkanya naik 860 persen menjadi 820 ribu guru honorer.
Sementara, jumlah siswanya meningkat hanya 17 persen dan guru PNS 23 persen. Rasio guru dan siswa Sekolah Dasar hari ini dalam kasus PNS saja, satu guru untuk 21 siswa, satu guru honorer untuk 14 siswa.
Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo mengatakan pemerintah juga harus meningkatkan kualitas dan kapasitas para guru. Upaya peningkatan mutu pendidikan dipengaruhi oleh faktor majemuk, yaitu faktor yang satu saling berpengaruh terhadap faktor yang lainnya.
Namun demikian, faktor yang paling penting adalah guru, karena hitam-putihnya proses belajar mengajar di dalam kelas banyak dipengaruhi oleh mutu gurunya.
Guru merupakan kurikulum tersembunyi, karena sikap dan tingkah laku, penampilan profesional, kemampuan individual, dan apa saja yang melekat pada pribadi seorang guru, akan diterima oleh peserta didiknya sebagai rambu-rambu untuk diteladani atau dijadikan bahan pembelajaran.
Bagi sebagian besar orangtua siswa, sosok pendidik atau guru masih dipandang sebagai wakil orangtua ketika anak-anaknya tidak berada di rumah.
Selain itu Prasetyo juga meminta orangtua mempercayakan pendidikan terhadap guru. Teguran dan pendisiplinan yang dilakukan oleh para guru bukanlah bentuk pelanggaran HAM atau kekerasan, yang harus direaksi dengan mempidanakan guru.
Bila para guru terintimidasi, mereka tak akan bisa menerapkan sistem atau kurikulumnya dengan baik.
“Ini menjadi kegagalan dunia pendidikan, yang artinya gagal pula membentuk karakter bangsa sebagai modal pembangunan,” kata Prasetyo.
LDII berharap Gerakan Menghormati Guru merupakan momentum memberi penghargaan terhadap guru, dengan meningkatkan kualitas dan kesejahteraan mereka.
Juga menata sistem pendidikan di Indonesia, yang tidak hanya didekati secara kuantitatif atau nilai, sehingga mampu melahirkan generasi yang berkualitas yang menyangkut kepribadian dan budi pekerti.
Pada Munas VIII LDII yang dihelat 8-10 November lalu, DPP LDII mecanangkan Gerakan Menghormati Guru, yang disambut baik oleh Presiden Joko Widodo.
Selain di 34 DPW LDII, perayaan Gerakan Menghormati Guru difokuskan di wilayah terluar dan terpencil: Natuna, Papua, Aceh, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Utara.
Abdullan Syam mengatakan, perhatian LDII terhadap para guru di wilayah terluar dan terpencil karena mereka menghadapi berbagai tantangan.
Mereka kekurangan fasilitas, namun terus mengabdi kepada dunia pendidikan. Meskipun kekurangan fasilitas, mereka tetap bekerja dengan semangat. “Mereka berjasa menanamkan nilai-nilai nasionalisme di wilayah perbatasan,” ujar Abdullah Syam.
Ia mencontohkan, dari sekitar 2.000 guru pegawai negeri sipil (PNS) maupun guru honor di Kabupaten Nunukan, lebih 500 di antaranya bertugas di kawasan sangat tertinggal. Namun, tunjangan khusus belum diberikan kepada para guru sepenuhnya.
Abdullah Syam menyatakan gerakan yang dicanangkan LDII itu, ditujukan untuk semua warga Indonesia yang mendedikasikan dirinya, untuk mentransfer nilai dan pengetahuan kepada generasi muda maupun masyarakat umumnya.
Jadi, menurut Abdullah Syam, para guru itu bisa ulama, guru sekolah, dosen, juru dakwah, mubalig, tokoh-tokoh agama, dan lain-lain, “Mereka memiliki andil dalam membentuk karakter bangsa sebagai modal membangun Indonesia,” imbuh Abdullah Syam.