Revolusi hanya akan melahirkan revolusi lainnya. Kudeta hanya akan melahirkan kudeta lainnya. Aksi mendongkel hanya akan melahirkan aksi mendongkel lainnya. Semua pergantian pemimpin nasional yang tidak melalui prosedur demokratis hanya akan menjadi kisah sedih yang kita sesali bersama di kemudian hari.
Hanya SBY yang bisa keluar dari kisah sedih presiden Indonesia. Umumnya presiden Indonesia dipuja di awal, namun dihujat di akhir. Ini bukan tradisi yang ingin kita pupuk jika inginkan demokrasi yang sehat.
Presiden Soekarno, Suharto diturunkan di akhir masa jabatan. Presiden Habibie pertanggung jawabannya ditolak MPR sehingga ia tak bisa mencalonkan diri kembali. Gus Dur dilengserkan di tengah jalan.
Megawati menjadi presiden karena sebagai wapres, ia menggantikan Gus Dur, bukan karena sejak awal ia diangkat atau dipilih sebagai presiden. Namun Mega gagal mejadi presiden karena dikalahkan dalam pemilu.
Hanya SBY yang bisa selamat terpilih sebagai presiden Indonesia dan tidak diturunkan, ditolak oleh rakyat. SBY pun malah terpilih dua kali. Bahkan dalam pilpres masa jabatan kedua, ia menang telak satu putaran saja.
Kita harap tradisi yang dimulai oleh presiden SBY diikuti oleh presiden Indonesia berikutnya. Jangan ada lagi presiden Indonesia yang diturunkan atau didongkel di tengah jalan.
Demokrasi tentu saja menyediakan prosedur demokratis mengganti presiden di tengah jalan, dengan apa yang disebut "impeachment." Namun itu hanya diterapkan untuk kasus khusus, jika presiden melanggar ketentuan sebagaimana yang disyaratkan konstitusi.
Mereka yang tak suka Jokowi sebaiknya menyiapkan barisan untuk mengalahkannya di pemilu presiden 2019 nanti, bukan sebelumnya.
Gerakan 4 November, 2 Desember atau selanjutnya sebaiknya fokus meminta keadilan untuk kasus Ahok saja. Dan sah juga jika gerakan ini punya efek membuat Ahok kalah di pilkada 2017.
Menambah menu "agenda lebih besar ketimbang Ahok" akan membuat gerakan ini berkurang pesonanya.
Kembali ke laptop. Kalahkan Ahok: Yess! Dongkel Jokowi: No!!!