Sabtu 26 Nov 2016 09:44 WIB

Katakan 'No' untuk Dongkel Jokowi: Revolusi Hanya Melahirkan Revolusi

 Presiden Joko Widodo (kiri) menunggang kuda Salero milik Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto di kediaman Prabowo, Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Jawa Barat, Senin (31/10). (Republika/Wihdan)
Foto:
Lautan massa memadati kawasan Bundaran Air Mancur Bank Indonesia sebelum menuju ke depan Istana Merdeka di Jakarta, Jumat (4/11).

Kini Ahok sudah resmi menjadi tersangka. Jika seorang tersangka malah dikampanyekan, apalagi terpilih sebagai pejabat (gubernur), maka  tradisi "pejabat tersangka mundur dari jabatan" akan hancur lebur. Kasus Ahok jika menang hanya bagus untuk Ahok tapi buruk untuk tradisi pemerintahan yang baik.

Siapapun yang menjadi tersangka akan merujuk kasus Ahok untuk tak mau mundur. Dengan mudah ia berkata. Lihat Ahok. Ia tersangka saja malah terpilih menjadi pejabat. Kok saya yang sudah pejabat, hanya  karena tersangka, diminta mundur?

Alasan kedua, mengalahkan Ahok menghindari kemungkinan, sekali lagi menghindark kemungkinan kebohongan publik. Mengapa? Karena pendukungnya mengkampanyekan Ahok sebagai guburnur. Padahal jika terpilih, yang menjadi gubernur bukan Ahok tapi Djarot karena Ahok diproses hukum.

Sebagai tersangka, Ahok selalu mungkin diputus bersalah ataupun tak bersalah. Ada kemungkinan Ahok diputus bersalah, dipenjara dan tak bisa menjadi gubernur. Kemungkinan itu tidak NOL, bahkan besar.

Melihat kasus penistaan agama, secara yurisprudensi umumnya kasus itu berakhir di penjara. Lihatlah mulai dari kasus Arswendo, Lia Eden, Tajul Muluk dan Antonius Bawengan. Bahkan dari perspektif hukum murni, yurisprudensi ini menyulitkan Ahok untuk lolos dari penjara, walau kemungkinan lolos penjara dari sisi hukum murni tetap ada.

Apalagi jika faktor reaksi sosial ikut diperhitungkan oleh hakim. Bahkan tokoh sekelas Dien Syamsuddin sudah membuat pernyataan publik. Ia sendiri yang akan terjun memimpin perlawanan jika Ahok dibebaskan dari hukum.

Bisa kita bayangkan, baru menuntut Ahok diadili saja bisa berkumpul sekitar satu juta manusia pada tanggal 4 November 2016 di Jakarta. Tak terhitung di daerah lain.

Apa yang terjadi jika Ahok dibebaskan? Pastilah dibebaskannya Ahok tak pernah ditafsir sebagai "proses hukum murni" bagi mereka yang tak setuju. Di era social media, aneka fakta segera bercampur dengan gosip, opini bahkan fitnah. Celakanya, itu akan dipercayai oleh mereka yang memang mudah percaya.

Besar kemungkinan gerakan yang lebih besar dan lebih liar akan muncul jika Ahok dibebaskan. Kepentingan bangsa yang lebih luas terancam oleh kasus seorang Ahok.

Mengalahkan Ahok menjadi sehat karena menghindarkan Jakarta bahkan Indonesia dari kemungkinan serba salah itu. Juga menghindari "kebohongan publik" (sekali lagi diberi tanda kutip karena ia hanya seolah -olah kebohongan publik).

Dimana "kebohongan publiknya?" Di sini; mengkampanyekan Ahok menjadi gubernur. Padahal jikapun terpilih, selalu ada kemungkinan, sekali lagi, selalu ada kemungkinan yang menjadi gubernur adalah Djarot, bukan Ahok,  karena Ahok sedang diproses hukum dan tak bisa bertindak sebagai gubernur de facto ataupun de jure.

Alhasil,  mengalahkan Ahok di pilkada 2017 sangat sehat untuk demokrasi dengan dua alasan di atas. Publik juga bebas mengkritik siapapun, sekali lagi, siapapun yang mengganggu dan mengintervensi proses hukum. Publik juga bebas memobilisasi aksi protes sekrearif dan semassif apapun sejauh masih dalam koridor hukum nasional.

Namun dalam gerakan yang membesar, selalu ada spektrum. Ini hukum besi gerakan sosial sepanjang sejarah. Di dalamnya akan ada kelompok kecil yang lebih ektrem  dan radikal.  Kelompok radikal ini punya agenda lain yang lebih keras, yang bisa membahayakan seluruh gerakan. Mereka meyakini gerakan radikal ini lebih substansial karena lebih ke jantung masalah.

Ini terjadi di semua tempat dan semua waktu. Dalam studi ilmu politik, ia sudah menjadi pakem.

Karena itu gerakan anti Ahok itu penting untuk memisahkan diri dari "penumpang gelap." Jika semata gerakan ini menuntut keadilan atas Ahok, dan ingin mengalahkan Ahok dalam pilkada 2017, ini gerakan yang substansinya sehat.

Namun jika ada penumpang gelap, ingin menggunakan sentimen anti ahok untuk menggulingkan presiden yang sah Jokowi, itu yang harus dikontrol. Dalam sepakbola, penumpang gelap itu sudah off-side.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement