REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam (Himi Persis) mengutuk kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Myanmar. Mereka mendesak PBB membawa Pemerintah Myanmar ke Pengadilan Internasional.
Ketua Umum Pengurus Pusat Himi Persis, Lida Maulida, menyampaikan, berangkat dari kesadaran akan fakta kejahatan kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingnya, PP Himi Persis mengecam dan mengutuk Pemerintah Myanmar karena dengan sengaja membiarkan terjadinya tragedi kemanusiaan yang semakin banyak memakan korban tidak bersalah, terutama orang tua, perempuan, dan anak-anak. PP Himi Persis juga mengutuk keras pembantaian, pembakaran, dan pemerkosaan yang dilakukan Junta Militer Myanmar khususnya terhadap perempuan-perempuan etnis Rohingya di Negara bagian Arakan (Rakhine), Myanmar.
PP Himi Persis mendesak Pemerintah Indonesia sebagai bangsa yang menunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab segera turun tangan melakukan upaya advokasi dan perlindungan bagi perempuan-perempuan Muslim Rohingya. Agar tidak ada lagi korban perkosaan dan pelecehan seksual.
Mereka juga mendesak pemerintah Indonesia untuk memutuskan hubungan diplomatik dan mengusir Duta Besar Myanmar dari Indonesia. "Kami mendesak dunia internasional khususnya Dewan Keamanan PBB untuk menyeret pemerintahan Myanmar ke Pengadilan Internasional," ungkap Lida melalui keterangan resmi kepada Republika.co.id, Kamis (24/11).
Organisasi Konferensi Islam (OIC) pun diminta bersikap tegas dan melakukan langkah-langkah strategis untuk segera menghentikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim militer Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya.
PP Himi Persis mengintruksikan kepada seluruh kader Himi Persis untuk merespons secara aktif, mengkaji permasalahan ini secara mendalam. Juga melakukan aksi kepedulian maupun penggalangan dana untuk Muslim Rohingya.
PP Himi Persis menyebut, sebagaimana dilansir Arakan.org, warga Muslim Rohingya mengungkapkan pemerkosaan dan pelecehan seksual dilakukan puluhan tentara Myanmar terhadap perempuan Rohingya dalam operasi militer terbaru di Rakhine pada Oktober lalu. Selain itu menurut data Human Right Watch (HRW), lebih dari 1.200 rumah telah diratakan di desa-desa yang dihuni kaum Muslim Rohingya dalam enam minggu terakhir.
"Fakta sudah menjelaskan bahwa Pemerintah Myanmar dengan sengaja membiarkan terjadinya kebiadaban ini," ujar Lida.
Kekerasan, kebrutalan, pelecehan dan pemerkosaan yang menelan banyak korban baik perempuan maupun anak-anak tentu saja kejahatan yang tidak bisa dimaafkan. Ini adalah pelanggaran berat kemanusiaan.
Tidak menutup kemungkinan kebiadaban-kebiadaban semacam itu akan terus terjadi. "Harus berapa Muslimah Rohingya lagi yang menjadi korban? Harus berapa anak lagi yang terlantar? Harus berapa rumah lagi yang dibakar? Kita tidak bisa lagi diam dan menutup mata membiarkan tragedi kemanusiaan ini berlanjut," ungkap Lida.