Selasa 22 Nov 2016 07:30 WIB

DPR Desak Sikap Tegas Indonesia atas Kekerasan Terhadap Rohingya

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nur Aini
Anak-anak mendaur ulang barang dari reruntuhan pasar yang dibakar di sebuah desa Rohingya luar Maugndaw di negara bagian Rakhine, Myanmar, 27 Oktober 2016. Gambar diambil tanggal 27 Oktober 2016.
Foto: Reuters/ Soe Zeya Tun
Anak-anak mendaur ulang barang dari reruntuhan pasar yang dibakar di sebuah desa Rohingya luar Maugndaw di negara bagian Rakhine, Myanmar, 27 Oktober 2016. Gambar diambil tanggal 27 Oktober 2016.

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR Rofi Munawar meminta Pemerintah Indonesia bersikap tegas atas insiden kekerasan yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya. Indonesia sebagai negara yang bertetangga dengan Myanmar dinilai harus secara proaktif mendorong nilai-nilai perdamaian dan penyelesaian konflik yang bermartabat melalui program diplomasi maupun forum-forum internasional.

Rofi menilai hal yang terjadi di Myanmar tidak bisa dilepaskan dari persoalan kawasan ASEAN. Karena sebagaimana diketahui, eksodus besar-besaran pengungsi Rohingya di akhir 2015 menjadi persoalan yang berdampak langsung terhadap negara-negara sekitarnya. "Prinsip-prinsip netralitas ASEAN terhadap urusan dalam negeri anggotanya harus mampu mendesak Myanmar melakukan langkah-langkah pencegahan konflik dan perlakuan kekerasan terhadap etnis Rohingya,” ujarnya, Senin (21/11).

Tahun lalu, Pemerintah Indonesia sudah melakukan langkah-langkah mediasi terkait Rohingya. Ada baiknya, kata Rofi, pemerintah mengingatkan kembali komitmen negara tersebut. Dalam pertemuan itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan Menlu Myanmar U Wunna Maung Lwin menghasilkan sejumlah kesepakatan. Kesepakatan tersebut termasuk di antaranya adalah mengenai pengungsi Rohingya. Saat itu, Pemerintah Myanmar sepakat untuk mengambil langkah prevensi terkait etnis Rohingya yang bersifat migrasi yang tidak terjadi secara umum (irregular migration).

Menurut dia, di zaman informasi yang terbuka seperti saat ini, sumber informasi tidak lagi bermakna tunggal dan berjalan linier. "Sensitivitas sebuah negara kawasan terhadap perilaku kekerasan yang menyebabkan korban tentu tidak hanya dengan kebijakan tanpa sikap," kata Rofi.

Sebelumnya, rangkaian bentrokan kembali terjadi antara pasukan militer Myanmar dengan sekelompok Muslim Rohingya di wilayah utara Rakhine pada akhir pekan lalu. Insiden ini menewaskan, setidaknya 28 warga Muslim Rohingya serta dua tentara Myanmar. Berdasarkan laporan surat kabar Myanmar, Global New Light of Myanmar, rangkaian bentrokan kuat ini bermula pada Sabtu (12/11) lalu, ketika militer melakukan operasi pembersihan di Rakhine. Dalam bentrokan tersebut, 19 warga Rohingya tewas terbunuh oleh militer.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement