Kamis 17 Nov 2016 15:30 WIB

Jihad untuk Persatuan Dokter Gigi Indonesia

M Arief Rosyid Hasan*
M Arief Rosyid Hasan*

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:  drg. Arief Rosyid (Anggota PDGI, Ketum PB HMI 2013-2015)

Masih segar diingatan saya, lebih dua tahun yang lalu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) melakukan dialog terbuka dengan Cawapres tentang visi mereka soal sektor Kesehatan.

Karena agenda yang terkesan mendadak sehingga waktu itu yang sempat hadir cuma Hatta Rajasa, tanpa dihadiri Jusuf Kalla–yang saat itu menjadi Cawapres. Sayang seribu sayang, padahal ide yang menggelinding waktu itu sangat bagus, juga sinergi antar organisasi profesi kesehatan yang terjalin dengan baik.

Keluhan yang terjadi waktu itu adalah keluhan dari organisasi profesi waktu itu soal kualitas, aksesibilitas, dan kesejahteraan tenaga kesehatan. Pada masalah kualitas, banyak sarana kesehatan di Indonesia yang belum memadai terutama di daerah perbatasan dan pinggiran. Selain itu, sebaran tenaga kesehatan yang tidak merata, tenaga kesehatan di perkotaan melimpah sedangkan di daerah sedikit. Dan yang terakhir adalah kesejahteraan para tenaga medis yang masih jauh dari harapan. Saya ingat saat itu Hatta Rajasa bakal menjanjikan kesejahteraan bagi pelaku kesehataan.

Akhirnya pasangan Jokowi-JK yang terpilih, tapi ide-ide segar waktu itu menguap begitu saja. Tanpa perjuangan dan suara. Entahlah apakah memang dialog tersebut dibuat hanya untuk memfasilitasi satu kubu atau memang tak ada keseriusan organisasi profesi kesehatan untuk bergandengan tangan dalam merespon soal kesehatan secara kolektif. Yang kita lihat, masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri.

Kehadiran saya hingga rela berdiri menyaksikan organisasi profesi waktu itu semata-mata untuk mengapresiasi keterpanggilan mereka dalam ruang politik yang menyisakan banyak sekali tempat untuk berpartisipasi khususnya dalam memperjuangkan soal kesehatan, terlebih untuk profesi utama saya dan organisasi keprofesiannya: dokter gigi dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).

Keadilan untuk Dokter Gigi

Organisasi PDGI sebenarnya hampir seusia republik ini, didirikan di Bandung pada tanggal 22 Januari 1950. Saat ini PDGI telah memiliki 18 Pengurus Wilayah di tingkat Provinsi dan 243 pengurus cabang ditingkat kabupaten atau kota ditambah dua calon cabang PDGI yang baru. Berdasarkan pendataan dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), jumlah dokter gigi yang telah melakukan registrasi ulang Surat Tanda Registrasi (STR) sampai dengan 1 Maret 2015 mencapai kurang lebih 18.000 orang ditambah sekitar kurang lebih 8.000 dokter gigi yang baru lulus.

Cukup banyak, tapi tidak mencukupi untuk seluruh warga negara Indonesia khususnya hingga pelosok-pelosok daerah. Menurut WHO, idealnya dokter gigi dan penduduk itu rasionya 1:9000. Karena keterbatasan jumlah, rasio itu dipaksakan menjadi 1:24.000. Defisit itu tidak mengimbangi hasil Riset Kese­hat­an Dasar (Rikesdas) Ke­men­terian Kesehatan tahun 2013,  yang menyebutkan bahwahampir 70 persen penduduk Indo­nesia mempunyai  karies (gigi berlubang) serta penyakit periodontal (berhubungan dengan gusi) dan 46,5 di antaranya, belum dirawat. Secara global bahkan pihak FDI (Federasi Dokter Gigi Sedunia) mengungkapkan bahwa 90 persen penduduk dunia mengalami permasalahan gigi dan mulut.

Sayangnya saya harus mengakui nasib dokter gigi tidak baik-baik amat dibandingkan rekan sejawat dokter lainnya. Harga kapitasi per pelayanan seharga 2000 rupiah per pasien per bulan rasanya kurang manusiawi dibandingkan resiko yang dihadapi dokter gigi saat menindaki pasien. Bukannya bermaksud kapitalis, tapi saya yakin setiap profesi butuh penghargaan. Apakah realistis mencabut gigi pasien–yang notabene memiliki resiko banyak hingga paling parahnya kematian bagi pasien–dengan hanya biaya seperti itu? Apakah realistis membuka mulut seorang pasien dengan waktu dan energi yang dihabiskan cukup banyak nan resiko terpapar infeksi silang dari pasien dengan jumlah nominal seperti itu?

Sedih rasanya mendengar ketika teman sejawat dokter gigi tersisih dengan kehadiran tukang gigi yang tanpa sertifikasi jelas melakukan tindakan selayaknya dokter gigi, beberapa diantaranya bahkan menyebabkan kelainan bagi pasien. Profesi dokter gigi belum mendapat teduhnya payung hukum yang jelas, padahal kesemuanya jelas ada di dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran.

Selain pemerintah, ini adalah tantangan organisasi profesi juga. Saya yakin semua senior-senior saya yang menjadi petinggi-petinggi di sana tahu bahwa PDGI bukan organisasi kongkow-kongkow sesama profesi yang hanya mengurus sertifikat dan sertifikasi Surat izin Praktek (SIP). Organisasi Profesi kiranya bersuara lantang menggemakan perbaikan kualitas hidup dokter gigi karena itu tentu akan mempengaruhi kualitas kerja mereka saat diperhadapkan dengan pasien.

Pasca “411”, Indonesia memang marak-maraknya dilanda terma “jihad”. Mengapa tidak jika ini diaplikasikan pada para rekan sejawat dokter gigi dan para senior-senior di PDGI? Kenapa tidak kita meneriakkan keadilan untuk dokter gigi? Kenapa tidak kita meneriakkan perjuangan atas kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak? Kenapa tidak kita meneriakkan bahwa penyakit gigi dan mulut dapat berimplikasi bagi organ-organ lainnya? Terlebih bulan ini kita memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement