Kamis 10 Nov 2016 16:52 WIB

Membedah Pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu Berdasarkan Tinjauan Semantik

Red: M.Iqbal
Ahok
Foto: Prayogi/Republika
Ahok

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Ayu Musa Hayatunnisa Putri, Kader IMM Jakarta Timur, Mahasiswa FKIP Uhamka

Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu, beberapa waktu lalu, menghadirkan kontroversi di kalangan masyarakat sampai sekarang. Sebab, pernyataan ini dianggap menistakan agama Islam.

Maka, umat Islam begitu gempar dan sontak segera membela agamanya. Ini lantaran mereka memiliki integritas tinggi dalam mencintai kitab suci Alquran. 

Hal senada niscaya juga akan dilakukan  umat beragama lain jika mengalami kejadian serupa. Hati saya tersentak kagum ketika melihat pernyataan Trisna Carltella dalam sebuah artikelnya yang memuat ‘dibohongi pakai’ kalau kalimat itu dianggap tak salah, nanti orang akan saling menistakan agama. 

Ia bukan beragama islam, namun mengerti dan paham jika pernyataan Ahok mengalami kontroversi. Jika memang pernyataan di atas tidak dapat membuka mata hati, mari kita kupas tuntas di bawah ini:

Pertama, saya akan menjelaskan pernyataan Ahok. Pernyataannya memiliki dua versi ada yang menggunakan ‘pakai’ dan tidak dicantumkan ‘pakai’.

1.      “Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu tidak usah pilih saya. Ya kan? Dibohongi surat Al-Maidah macem-macem itu. Itu hak bapak ibu,” kata Ahok saat itu. –News-

2.      “Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu tidak usah pilih saya. Ya kan? Dibohongi pakai surat al-Maidah: 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu,” 

Dua versi ini jelas yang membuat kabur penglihatan masyarakat. Kita fokuskan terlebih dahulu mengenai pemahaman pengertian semantik, 

Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan struktur makna suatu wicara. Makna adalah maksud pembicaraan, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi, serta perilaku manusia atau kelompok (Kridalaksana, 2001:1993). 

Makna terbagi menjadi dua: denotatif dan konotatif. Pernyataan Ahok memiliki makna konotatif. Menurut Keraf (1994:29) makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. 

Sedangkan, menurut Maskurun (1984:10) makna denotatif adalah makna dasar, umum, apa adanya, netral tidak mencampuri rasa, dan tidak berupa kiasan. Konotasi dari pernyataan Ahok mengalami kontroversi karena konotasi yang digunakan tidak baik. 

Konotasi tidak baik dibagi menjadi lima yaitu: Konotasi berbahaya, konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi kasar, dan konotasi keras. Kata ‘bohong’ memiliki arti tidak sesuai dengan hal sebenarnya (KBBI)/

Kata ‘membohongi’ memiliki arti mendustai (aktif). Kata ‘dibohongi’ (didustai) dengan prefiks di- menunjukkan kebalikan dari imbuhan me- yang membentuk kata dasar bermakna pasif jika tidak ditambahkan konjungsi.

Contohnya: Adi ditegur oleh ibu guru karena malas (Aktif) sebab adanya konjungsi oleh. Atau Adi ditegur ibu guru karena malas (pasif) sebab tidak ada konjungsi oleh.

Kembali ke dua versi pernyataan tersebut yang dijelaskan pakar bahasa yang sudah memiliki kedudukan tinggi, namun saya bersikeras menulis dengan mata batin saya. Dimana akhirat diletakkan 5 sentimeter di dahi saya, maka jelas ia sangat dekat. 

Sedekat pertanggungjawaban atas lisan yang terlontar. Mengapa bagian ‘pakai’ dihilangkan? Padahal, jelas-jelas saya mendengar ada kata ‘pakai’ yang menunjukkan keterangan aktif.

Kalimat utuh:

“Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu tidak usah pilih saya. Ya kan? Dibohongi pakai surat al-Maidah: 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu.”

Kalimat pertama yang dipecah: Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu tidak usah pilih saya. Ya kan?

Penjelasan: Coba amati dari kalimat tersebut, kata mana yang menunjukkan objek Ahok? Jelas saja, Bapak Ibu.

Objek ini yang mempengaruhi kekuatan retorika Ahok. Objek adalah sebuah konsep, abstraksi atau sesuatu yang diberi batasan jelas dan dimaksudkan untuk sebuah aplikasi.

Kalimat kedua yang dipecah: Dibohongi pakai surat al-Maidah: 51 macem-macem itu.

Penjelasan semantik ‘bohong’ sudah pasti konotasinya berbahaya, konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi kasar, dan konotasi keras. Kata ‘pakai’ merupakan sesuatu yang menunjukkan aktif. 

Kata ‘surat Al-Maidah:51’ merupakan subjek bagian klausa yang menandai apa yang dibicarakan oleh pembicara. Kata ‘macem-macem itu’ dan ‘Itu hak bapak ibu’ merupakan kekuatan Ahok untuk menegaskan keinginannya.

Jadi, jika digambarkan secara singkat pernyataan beliau seperti ini:

Bapak Ibu dibohongi pakai surah al-Maidah: 51 macem-macem itu.

    O                 P          (Aktif)                  S                              Ket

Jika diartikan dalam pemaknaannya, Ahok sudah dipastikan menistakan agama. Meskipun kata pakai dihilangkan, makna dalam kalimat tersebut akan sama yang membedakan aktif atau pasif. (Jangan berkutik pasif dan aktif), namun kata dibohongi dan membawa surah al-Maidah: 51 jelas melukai ulu hati umat Islam karena sudah membawanya dalam kampaye politiknya. 

Jika analisis ini juga tak mampu membuka mata hati pembaca. Perhatikan kagummu, kepada siapakah sepantasnya Anda mengagumi? Kagum terhadap kebenaran atau kesalahan yang akan diulang kembali?

Negara hukum

Kedua, fakta selanjutnya adalah negara Indonesia adalah negara hukum. Ideologi landasannya adalah Pancasila dan UUD, itu jelas. 

Semua agama di Indonesia memiliki landasan. Bagaimana jika landasan ideologi itu diinjak-injak dan tak dihargai? Patut toh kita memperjuangkannya?

Bagaimana dengan UUD dan pasal hukum yang dibuat di Indonesia? Sudah dibuat, dilanggar sendirikah?

Menurut UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU 1/PNPS/1965), Pasal 1:

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.”

Fakta ini tidak bisa direkayasa, karena Ahok sudah jelas menyinggung SARA dengan membawa surah al-Maidah: 51 dalam kampayenya.

Lalu, kepada siapakah Anda berpihak? Apa pintu hati Anda sudah terketuk untuk memperjuangkan kasus ini berlanjut keranah hukum? 

Apakah Anda termasuk orang yang memperjuangkan kebenaran atau memberi peluang kesalahan sama untuk kedua kalinya? Mari, kita bangun Indonesia dengan kekuatan bersama untuk menegakkan hukum sebenar-benarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement