Kamis 10 Nov 2016 13:54 WIB

Panitera Akui Terima Kasus karena Urus Perkara

Mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution (kiri) menunggu di ruang tunggu sebelum sidang dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (28/9).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution (kiri) menunggu di ruang tunggu sebelum sidang dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (28/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution mengaku menerima Rp 10,35 juta, 70 ribu dolar AS dan 9.852 dolar Singapura. Uang tersebut diketahui merupakan gratifikasi pengurusan berbagai perkara saat bertugas sebagai panitera.

"Apakah benar menerima uang 50 ribu dolar AS terkait pengajuan PK (Peninjauan Kembali) PT Across Asia Limited?" tanya jaksa penuntut umum KPK Dzakiyul Fikri dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (9/11).

"Benar, itu dari PH (penasihat hakim) baru PT AAL tadi. Tiba-tiba dia datang, tapi saya tidak kenal tidak tahu namanya, katanya 'Pak ini ucapan terima kasih' saya katakan 'iya," jawab Edy.

Uang itu, menurut Edy, diberikan di ruang kerjanya di PN Jakpus. Jaksa KPK pun menunjukkan foto pengacara bernama Agus Triadi sebagai orang yang mengantarkan uang tersebut. PT AAL sebagai salah satu anak perusahaan Lippo Group yang diputus kasasi sudah pailit melawan PT First Media Tbk pada 31 Juli 2013 dengan salinan dikirim pada 7 Agustus 2015.

Namun hingga batas waktu yang telah ditentukan UU, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum yaitu PK. Edy membantu pengajuan PK tersebut sehingga ia mendapatkan uang terima kasih dari pengacara PT AAL.

Terkait pengajuan PK itu, Edy pun mendapat telepon dari mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.

"Pak Nurhadi telepom saya bulan Desember 2016, menanyakan berkas itu sudah dikirim atau belum, tapi saya tidak tahu berkas yang mana makanya saya bingung setelah itu," kata Edy.

Selain uang 50 ribu dolar AS dari pengacara PT AAL, Edy juga mengakui menerima berbagai uang lain dalam mata uang asing dan rupiah. Dalam dakwaan disebutkan bahwa uang senilai total Rp10,35 juta terbungkus amplop warna putih ditemukan di laci meja bagian atas dan tengah pada ruang kerja Edy dan berada di dalam dompet merek Emeralgido Zegna.

Selanjutnya uang 10 ribu dolar AS dibungkus dalam amplop warna coklat di dalam laci meja bagian bawah pada ruang kerja Edy, uang 29.800 dolar AS terbungkus dalam koran di dalam laci meja bagian bawah ruang kerja Edy. Uang 20 ribu dolar AS terbungkus koran di dalam laci meja bagian bawah pada ruang kerja Edy, uang 9.700 dolar AS terbungkus koran di dalam laci meja bagian bawah pada ruang kerja Edy dan uang 500 dolar AS di dalam dompet merek Emeralgido Zegna.

Uang 8.000 dolar Singapura dalam amplop warna putih di laci meja bagian atas pada ruang kerja Edy, uang 1.852 dolar SIngapura di dalam dompet merek Emeralgido Zegna milik Edy. "Apa ini benar semua?" tanya jaksa Dzakiyul.

"Benar," jawab Edy.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Edy mengaku bahwa uang dalam dolar Singapura tersebut adalah berasal dari pemberian orang-orang yang ia bantu membuatkan gugatan, memori kasasi, gugatan permohonan atau gugatan perceraian dan kemudian orang-orang itu memberikan uang kepada Edy.

Namun Edy tidak ingat lagi siapa-siapa saja orang-orangnya, yang jelas lebih dari 5 orang, tapi tidak tahu berapa orang yang pernah memberikannya. Sedangkan untuk uang dalam bentuk rupiah adalah uang yang dikumpulkan Edy sejak lama saat menjabat sebagai panitera dan Sekretaris PN Jakarta Pusat dan digunakan untuk keperluan pribadi dan makan-makan yang berasal dari berbagai pihak yang dibantu untuk membuatkan gugatan, memori kasasi, gugatan permohonan atau gugatan perceraian.

Atas perbuatan itu, Edy didakwa dengan pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, yang nilainya Rp10 juta atau lebih. Pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi terancam hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement