Ahok, Media Sosial, Kaum Liberal, dan Sikap Demokratis
Oleh : DR Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
===========
Dalam pengalaman masing-masing di era pilkada Jakarta, berapa banyak kita mengalami pertemanan yang rusak? Grup WA (WhatsApp) dibubarkan? Lalu unfriend di Facebook, berhenti menjadi follower di Twitter, keluar dari WAG? Ini semua terjadi karena meruncingnya argumen, ketidaksetujuan, dan soal pro-kontra Ahok.
Belum ada riset khusus untuk pilkada Jakarta. Namun ada riset untuk situasi Pemilu Presiden Amerika era Hillary versus Trump. Ada juga angka kasus serupa untuk isu Jalur Gazza Israel.
Market Watch 7 November 2016 mempublikasi data itu. Selama era kampanye Hillary versus Clinton, terjadi perdebatan, saling kritik, bahkan saling ejek antara pengikut masing-masing di dunia media sosial. Tercatat sekitar 6-9 persen di kubu masing-masing yang saling memutuskan komunikasi (unfriend lewat Facebook).
Menarik pula dari data itu soal siapa yang lebih banyak berinisiatif memutus komunikasi. Ternyata kaum yang liberal (24 persen) lebih cenderung menyetop persahabatan online itu dibanding kaum konservatif (16 persen).
Kaum liberal (44 persen) juga lebih cenderung memblok mereka yang berbeda dibanding kaum konservatif (31 persen).
Para komentator menganggap, ini merupakan gejala semakin tumbuhnya intoleransi dalam berbeda sikap politik. Juga menunjukkan semakin tumbuhnya ketidakmatangan dalam mengelola perbedaan pendapat.
Tak ada penjelasan mengapa kaum liberal lebih rentan dibandingkan kaum konservatif dalam memutuskan pertemanan di media sosial.
Saya menduga ini memang khas kaum liberal yang lebih bebas dan individualistik. Sementara kaum konservatif lebih menghargai sense of communalism dalam keluarga dan persahabatan.
Untuk kasus di Israel dalam isu jalur Gazza, angka memutuskan perkawanan online lebih tinggi lagi. Sepanjang konflik jalur Gazza tahun 2014, angkanya sekitar 16 persen.