Senin 07 Nov 2016 01:00 WIB

Hantam Ahok, Hantam Sistem Demokrasi!

Masa yang tergabung dalam Aliansi Pro Demokrasi memakai topeng Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat melakukan aksi di Silang Monas, Jakarta, Jumat (30/9).
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Masa yang tergabung dalam Aliansi Pro Demokrasi memakai topeng Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat melakukan aksi di Silang Monas, Jakarta, Jumat (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Firmansyah *)

4 November menjadi puncak kemarahan Umat Islam tatkala Ahok denngan ringan melontarkan penghinaan terhadap Alquran dengan kalimat “jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macam-macam itu”. Mungkin ada saja di kalangan masyarakat atau Ahok mencoba berkilah untuk melakukan pembelaan yakni tidak ada niatan untuk menghina. Namun, statement tersebut tidak bisa dinafikan, pernyataan “dibohongin pakai surat al Maidah 51” tentu saja dengan jelas menghina Alquran. Apalagi, makna yang terkandunya dapat difahami oleh siapa saja secara umum yakni larangan bagi Muslim untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya (teman setia).

Namun perlu diketahui pula, bahwa pernyataan Ahok muncul memang ketika situasi kampanye, dimana para kandidat berupaya merebut hati masyarakat. Hal itu, memang menjadi kondisi dimana ‘kafir’nya Ahok memang menjepit dirinya secara mental/psikologis, sehingga upaya mengatakan ’dibohongi…’ menjadi hal yang memunginkan untuk dilontarkan dalam keadaan masih terfokus untuk melawan terhadap lawan-lawan politiknya.

Namun, dalam konteks kedudukan Ahok sebagai ‘kafir’ dan mengatakan ‘dibohongi…’ dengan melegitimasikan kepada Alquran, tentulah menjadi satu bentuk penghinaan. Penghinaan ini, terjadi dalam konteks jelas dan tegas untuk dapat dirasakan oleh umat Islam. Yakni, merendahkannya dengan menjustifikasi bahwa ayat al Maidah 51 sebagai ayat yang membohongi umatnya.

Hal ini, tidak terlepas dari apa yang dianggap penghinaan bersifat kasat mata. Penghinaan yang bersifat kasat mata ini dapat jelas dirasakan pernyataan yang menghinakan sesuatu dari konotasi ‘membohongi’ yang dialamatkan kepada Alquran. Meski Ahok berkilah tidak berniat, ataupun ada yang mengatakan bahwa Ahok menargetkan orangnya yang menjadikan ayat al Maidah sebagai alat pembohong. Hal itu, tidak membebaskannya dari tuduhan bahwa dirinya memang telah menghina. Karena, ayat itu, dengan lugas dan tegas menyatakan hal yang dapat difahami yakni tidak menjadikan orang kafir sebagai teman setia. Jadi tidak ada potensi membohongi dengan ayat itu, karena ayat tersebut sudah jelas.

Akhirnya, konotasi ‘bohong’ yang dialamatkan kepada Alquran tampak menjadi penghinaan kasat mata, mengapa? Karena konotasi negatif telah disematkan. Konotasi negatif tersebut bersandar pada sebuah kebiasaan masyarakat yang memang dianggap negatif, sehingga tatkala disematkan kepada identitas individu anggota masyarakat, tentu saja masyarakat akan memberontak dan marah dikarenakan penghinaan tersebut sama saja dialamatkan kepada masyarakat yang beridentitas Muslim.

Dalam konteks penghinaan Ahok, berdasarkan perspektif 'penghinaan kasat mata' dan kemarahan Umat Islam terhadapnya, hal ini, menjadi kewajaran. Dan kelompok mananpun yang menganggap keyakinannya benar, terlepas rasional maupun doktrin, akan marah tatkala identitas itu dihina. Jikalau tidak ada kemarahan, sudah barang tentu ada keyakinan lain, sehingga dirinya tidak merasa tidak terusik.

Dalam hal ini, dapat saja menjadi kerentanan dalam mewadahi penentangan terhadap Ahok. Hal itu, terjadi dikarenakan semata-mata penentangan diarahkan kepada upaya membela identitas yang dihadirkan, dikarenakan faktor pensejajaran identitas dengan konotasi negatif yang disejajarkan dengan pandangan publik. Seperti inilah yang dianggap oleh masyarakat pada umumnya terlepas Muslim maupun non-Muslim.

Bertolak dari persepsi itu, dapat kita lihat, ada jebakan tertentu yang menjebak upaya pembelaan terhadap agama. Atau, ada hal yang mengurung gerak politik umat Islam dalam penentangannya terhadap penghinaan yang dilakukan oleh Ahok, sehingga tidak leluasa dalam melakukan pembelaan. Hal yang mengurung itu adalah pandangan publik yang menjadi basis atas berdirinya persepsi penghinaan yang dialamatkan kepada Alquran. Sehingga, menjadikan standar pembelaan itu harus mengikuti dan mengembalikan pensejajaran kemuliaan atas Alquran diakui oleh seluruh pihak secara umum dan menempatkannya pada 'konotasi positif' yang diakui oleh seseorang yang dianggap representatif rakyat, itulah Presiden.

Lantas, dimana posisi keterjebakannya? Posisi keterjebakannya ada pada ruang yang menyeret Alquran untuk diadili ke dalam pusaran standar pandangan publik ini. Dimana pandangan publik yang ada belum terjamin keabsahannya, siapa yang mengabsahkannya sehingga menjadi standar yang mengadili Alquran? Apalagi, telah diketahui secara umum bahwa Alquran ini adalah petunjuk dari Pencipta yang tidak ada satu bercakpun kesalahan. Beginilah kami berupaya untuk memperinci kerentanan akan keterjebakan ini. Akhirnya, pola aspirasi yang mesti digaungkan rentan pula terjerembab kedalam ruang pandangan publik ini.

Maka, hal yang wajar, beberapa politisi memberikan pernyataan agar umat Islam memaafkan Ahok. Misalnya, Yusril mengatakan “dengan komitmen penegakan hukum, sudah sepantasnya umat Islam menerima permintaan maaf Ahok yang sudah berulang kali diucapkannya. Penegakan hukum telah dijamin Presiden Jokowi, serahkan kepada aparat penegak hukum sambil diawasi dengan saksama” (beritasatu, 3/11). Atau Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan pula "beliau (Ahok) sudah minta maaf. Kalau saya berpendapat, meyakini Islam berilah maaf, selesai lah urusan itu," (beritasatu, 1/11).

Fenomena ini menandakan bahwa benar, ternyata seruan pembelaan terhadap agama berada dalam ruang pandangan publik yang menjadi sandaran bagi penilaian penghinaan terhadap agama. Dimana penilaian tersebut berangkat dari konotasi negatif atas ucapan Ahok dan pensejajaran terhadap identitas agama yang diadopsi seseorang, muslim, misalnya. Maka, solusi atas problem ini sangat memungkinkan untuk kembali berdiri di atas pandangan publik ini yakni dengan memberikan konotasi positif terhadap agama yang telah dihinakan.

Jika soalnya adalah pandangan publik dan belum absah keberadaan opini publik dalam mengadili penghinaan atas petunjuk yang sempurna itu, maka pertanyaannya adalah apa pembentuk dan pembuat pandangan publik ini? Rupanya, pernyataan-pernyataan politisi sangat gamblang dalam menjadikan kurungan bagi gerak politik umat Islam dalam memenjarakan pola aspirasinya dan membentuk langit-langit pembatas di atas umat Islam.

"Yang paling bijak bawa kasus ini ke hukum, biar hukum yang mengadili," Menteri Agama Lukman Hakim S (liputan6, 2/11). Inilah jalan yang sejajar bagi pandangan publik. Artinya, pandangan publik terbentuk oleh sebuah sistem kebijakan. Mengarahkan keadilan berporos pada kelompok berkuasa yang saat ini diperintah oleh Jokowi-JK berserta seluruh hirarki pemerintahannya. Jika demikian, apa jaminan keadilan dari kelompok berkuasa ini sehingga menjadi penentu akan keadilan hukum yang ditegakan? Bagaimana mengadili penista agama oleh kelompok berkuasa ini dimana Islam dalam kapasitasnya tidak sekedar agama merupakan konsepsi universal dan rasional? Tentu ini menjadi ambigu, seolah robot harus mengadili pencipta robot!

Lajur hukum yang ditawarkan oleh kelompok berkuasa dalam mengadili penista agama menghadirkan dua soal. Pertama, komitmen atas sistem yang dijalankan dan kedua, dilematis umat Islam dalam menuntut keadilan atas penghinaan Alquran. Bagi poin pertama, tentu saja kelompok berkuasa ini tidak bisa dipegang ucapan dan kebijakannya, hal tersebut dikarenakan faktor sistem yang cacat dan tidak ditemukan keadilan didalamnya. Terbukti akan lahirnya undang-undang berangkat dari standar mayoritas sebagai penentu. Semestinya, menjadikan rujukan yang benar secara universal kemudian lahirlah undang-undang untuk digunakan dalam mengadili seluruh segmentasi masyarakat dari berbagai kalangan, ras dan lainnya.

Selain itu, kedua, bagi umat Islam pilihan tersebut menjadi pilihan dilematis. Hal tersebut mengingat Alquran adalah panduan hidup mereka dengan semestinya menjadi jalan atas segala problem kehidupan termasuk problem penistaan agama. Namun, sayangnya, justru undang-undang yang tidak mengakomodasi kepentingan umat Islam dan tidak universal ini, lahir dari minoritas (parlemen) justru dijadikan alat untuk mengadili penghina keabsolutan Alquran. Sehingga, tepatlah jika upaya penentangan terhadap Ahok dengan pandangan penghina dan penista agama disejajarkan dengan pandangan publik yang terbentuk atas sistem yang tidak memuliakan Alquran. Pergerakan politik umat telah dikungkung oleh sebuah sistem yang tidak meninggikan umat Islam apalagi Alquran itu sendiri. Inilah bukti jebakan yang dihadirkan oleh “penghinaan kasat mata”.

Maka, atas dasar itulah, umat Islam harus berpaling dari jalan-jalan yang mencoba menerkam dirinya dari segala arah. Baik berupa provokasi fisik apalagi provokasi ide yang bias itu, yang telah memenjarakan umat dan upaya mempolitisasi umat demi kepentingan politik pragmatis politisi bejat!. Maka dari itu, umat Islam harus menyandarkan konotasi penghinaan itu bertolak dari kehendak Alquran, seruan Pencipta atas umat manusia yang disampaikan melalui Alquran. Singkatnya, harus melihat bahwa kebenaran adalah segala seruan Pencipta dalam memerintahkan sesuatu dalam koridor 'wajib', 'sunah', maupun pilihan berupa 'mubah', dan menilai kebatilan adalah apa-apa yang dilarang oleh Pencipta.

Akhirnya, memosisikan penghinaan berada pada konotasi negatif yang disematkan kepada identitas seorang Muslim semata-mata karena dirinya telah dikehendaki atau dipaksa oleh kehendak manusia lainnya oleh sebuah kemaksiatan terhadap Allah! Dengan pandangan seperti itu, jelaslah umat Islam harus beranjak dari pandangan 'penghinaan kasat mata' menuju pandangan penghinaan yang dilihat akan adanya sebuah kehendak memaksa itu dimana kehendak memaksa itu bermaksiat terhadap Allah.

Maka, dengan menyadari itu, rupanya penghinaan terhadap Alquran bukan hanya ketika Ahok mengatakan penghinaan. Akan tetapi, ketika Ahok memerintah umat Islam dalam sebuah sistem dan menurunkannya sebagai bentuk kebijakan yang bertolak dari pertimbangan yang tidak memerhatikan perintah dan larangan Allah. Hakikatnya, umat Islam telah diperintah oleh sebuah kemaksiatan bahkan diperintah oleh sebuah kekufuran. Jika faktanya demikian, maka tentulah Alquran telah dijatuhkan sejak lama seiring kebijakan-kebijakan pemerintah terus dilayangkan kepada umat Islam, bahkan umat Islam telah dihinakan seiring mengikuti keberjalanan penegakan hukum yang di luar koridor Alwuran.

Melalui sistem kebijakan yang ada, umat Islam telah kehilangan otoritasnya dikarenakan demokrasi menempatkan kedaulatan di tangan rakyat yang faktanya kedaulatan berada pada minoritas rakyat atau mayoritas parlemen. Lebih jauh lagi, kelompok kapital-lah yang menempati kedaulatan itu untuk mengendalikan sistem yang ada, hukum, pendidikan, sosial dan sebagainya. Hal itu, karena jaminan sistem atas eksistensi kapital dengan prinsip 'kebebasan berkepemilikan' atau dapat dikatakan 'kebebasan saling memanfaatkan' tatkala sumber daya dan modal mereka memungkinkan dalam upaya memanfaatkan sesuatu maka hal yang jauh dan dibutuhkan oleh publik pun dapat dikendalikan sesuka hati mereka.

Jika mau adil dalam mengelompokan rakyat dalam koridor 'SARA' dan kelompok kapital ini diintegrasikan ke dalamnya, maka kelompok kapitalah yang benar-benar melanggar SARA. Mereka telah menjadi ras kapital yang mengendalikan negara dan negara memihak kepadanya, melindungi kepentingannya. Sedangkan prinsip kebebasan beragama bukan malah memperkukuh kedudukan umat Islam, tapi membuyarkan kebenaran atas nama prulalisme dan hidup tunduk di bawah ketiak ras kapital ini!

Dengan melihat fakta bahwa umat Islam termarginalkan, sesungguhnya kondisi ini telah membelalakan kita bahwa umat Islam telah dihina bukan hanya dari sisi ucapan, tapi dihina secara sistem. Dijatuhkan dari kedudukan yang tinggi untuk tunduk pada kehendak memaksa yang memang bermaksiat kepada Allah, membangkang dari apa-apa yang diwajibkan Allah, dan memerintah terhadap apa yang diharamkan oleh Allah. Hal itu jelas dengan kebijakan-kebijakan yang sering dilayangkan pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam arti lain, otoritas umat Islam telah diobrak-abrik oleh kelompok berkuasa ini. Pemerintah yang tidak pro terhadap umat Islam yang mengatasnamakan kepalsuan kedaulatan rakyat. Maka, dari itu, umat Islam yang memiliki kapasitas sebagai umat terbaik dikarenakan ide yang diadopsinya adalah ide Islam yang sempurna dan universal, semestinya bergerak tidak hanya menentang Ahok dan berkompromi terhadap lajur provokasi ide yang bias (sistem). Namun, umat harus berjalan lebih jauh menentang sistem demokrasi yang telah menghinanya dan menjatuhkannya, mengobrak-abrik kedudukan mulia dirinya ke dalam kubangan kemaksiatan yang dibentuk oleh sistem.

Penentangan demokrasi tersebut adalah upaya revolusi, sehingga mewujudkan kepemimpinan berbasis Alquran (khilafah) dan mengadili apapun berdasarkan Alquran, sehingga selaras dengan perintah Allah SWT dan mengadili siapa saja yang menentang kebenaran termasuk para penghina Islam. Disitulah otoritas umat akan terjaga, dan aqidah Islam terlindungi bahkan menjadi poros berputarnya kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara.

    

*) Ketua Umum GEMA Pembebasan Pengurus Wilayah Jabar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement