Kamis 03 Nov 2016 20:58 WIB

Subak Terancam Oleh Pajak

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: M.Iqbal
Keindahan subak Bali.
Foto: Republika/Agung Supriyadi
Keindahan subak Bali.

REPUBLIKA.CO.ID,NUSA DUA -- Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana I Wayan Windia mengatakan sistem subak di Bali perlu dilestarikan. Hal tersebut juga tertuang dalam Rekomendasi Gianyar untuk Subak Berkelanjutan yang disusun pada 22 Agustus 2016.

Meski demikian, upaya pelestarian tidaklah mudah. "Tantangan petani di Bali yang menjadi untuk mempertahankan subak dan sawahnya adalah tingginya nilai pajak bumi dan bangunan (PBB)," kata Windia di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/11).

Kenaikan PBB tersebut akibat maraknya alih fungsi lahan dari pertanian menjadi penginapan, khususnya hotel dan vila di sekitar subak. Pemerintah, kata Windia, perlu mengubah sistem pajak berdasarkan fungsinya, bukan lokasinya.

"Kondisinya sekarang pajak disusun berdasarkan lokasi, sehingga pajak sawah di Bali hampir sama besarnya dengan pajak vila dan hotel," katanya.

Subak merupakan penyebutan sistem irigasi air di Bali yang dibentuk sebagai sistem pengelolaan untuk memastikan agar air dapat mengairi awahsawah di sebuah bajar atau desa. Layaknya organisasi tradisional lainnya di Bali, subak juga berlandaskan filosofi Tri Hita Karana yang mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan tercapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan hubungan antara tig aelemen, yaitu parhyangan (ketuhanan), pawongan (manusia), dan palemahan (alam).

Topografi Bali yang didominasi lereng menjadi satu alasan pentingnya subak. Subak mempermudah distribusi air ke areal persawahan. 

Setiap subak harus memiliki satu kanal khusus untuk mengairi sawah ke kanal lain di bawahnya. Subak yang melestarikan air juga bisa dilestarikan dengan keberadaan awig-awig atau aturan desa adat. 

Selama ini awig-awig dinilai berperan penting mempertahankan konversi subak. Kendala lain bagi keberlangsungan subak adalah tuntutan pembangunan yang begitu cepat di berbagai bidang, khususnya pariwisata. 

Dampaknya kurang sejalan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dianut masyarakat. Pengamat lingkungan, Hendro Sasongko mengatakan sebagian besar krisis air di Indonesia disebabkan manusia acap kali membuang sampah di sungai. 

Faktor berikutnya karena buruknya eksplorasi dan ekstraksi minyak dan gas bumi. "Krisis air juga disebabkan perluasan kota sehingga ekstraksi air meraja lela," katanya.

Rencana sabuk hijau (green belt) yang dirancang pemerintah untuk melindungi tanah dan air dikalahkan keinginan kuat dari pembangunan, seperti hotel dan vila. Krisis air dalam beberapa kasus juga menciptakan konflik kuat dan kecurigaan antara petani dengan masyarakat lokal. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement