Selasa 01 Nov 2016 15:29 WIB

Jalan Baru Politik Islam untuk NKRI

Red: M Akbar
Presiden Joko Widodo memimpin pertemuan dengan organisasi Islam MUI, PBNU, dan Muhammadiyah di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (1/11). (Republika/ Wihdan)
Foto:

Tahun 1955, tokoh-tokoh Masyumi, NU, PSII, dan lainnya tidak terlalu solid mengedepankan kepentingan umat, tetapi lebih mengedepankan kepentingan golongannya. Tahun 1993 Amien Rais misalnya, dengan tidak mengurangi peran ICMI dan Islam lainnya, memandang perubahan negeri ini ada pada Suksesi Kepemimpinan Nasional, bukan pada kerangka keumatan yang sangat dalam.

Pada waktunya kemudian kita lihat Politik Poros Tengah yang mengandalkan kekuatan politik Islam, hanya sebagai 'alat' untuk mendorong kemenangan Gus Dur. Artinya, baik 1965 dan 1998 adalah buah dari politik praktis para tokoh umat, bukan Islam sebagai semangat untuk perubahan negeri ini menjadi lebih baik.

Pertanyaannya kemudian, apakah peristiwa 4 November akan mengikuti pola Periodisasi Idealisme atau Pragmatisme dalam memandang keumatan untuk perbaikan negeri ini ke depan? Apakah umat Islam dan para tokohnya sebagai representasi akan terjebak pada politik transaksional mengingat partai-partai politik yang menjadi representasi umat Islam saat ini sangat dangkal memahami ketokohan dan kepemimpinannya, hanya pada sekedar transaksi politik? Siapa yang didukung belum tentu itu adalah representasi perwakilan umat Islam.

Contoh paling mudah adalah bagaimana partai-partai Islam di DKI Jakarta sepertinya terpecah belah pada tokoh yang disodorkan sebagai calon gubernur dan wakilnya yang memang beragama Islam tetapi jelas sekali mereka bukanlah representasi umat dalam visi membawa Islam menjadi bagian yang memberikan dampak rahmatan lil alamin di negeri ini.

Tak terkecuali di propinsi dan kota/kabupaten di seluruh wilayah pada kasus Pilkada serentak 2017 maupun 2018 yang akan datang. Partai-partai Islam juga tidak memiliki kesepahaman atas bagaimana 2019 sebagai ajang untuk konsolidasi keinginan umat Islam melalui partai politik mendorong tokoh Islam sebagai pemimpin negeri ini.

Bukti paling nyata ini didukung oleh diam dan bungkamnya para politisi, partai politik yang membawa representasi umat Islam, apalagi calon Gubernur/Wakil Gubernur, calon Bupati/Walikota di seluruh Indonesia serta para Gubernur/Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota, termasuk Presiden dan Wakil Presiden yang beragama Islam relatif tidak mau terjebak pada isu yang sangat sensitif menjelang 4 November. Idealisme para tokoh Islam politik saat ini sepertinya telah tergantikan oleh 'kesantunan pragmatis'.

Baca selanjutnya >> Realitas Politik Islam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement