REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz mengatakan, perlu adanya pengawasan dana kampanye yang bisa menghasilkan data pembanding atas laporan yang disampaikan pasangan calon (paslon). Tingkat transparansi pengeluaran paslon harus disandingkan langsung dengan hasil pengawasan.
"Pengawasan melekat dengan syarat di mana ada tindakan kampanye di situ ada pengawasan dengan fokus menghitung pengeluaran kampanye," kata dia di kantor Bawaslu, Jumat (28/10).
Dari pengalaman pilkada serentak 2015 lalu, transparansi dana kampanye paslon belum terbangun. Dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK), yang disampaikan paslon belum mencerminkan jumlah riil penerimaan dan pengeluaran selama masa kampanye.
Menurut Masykurudin, itulah yang menjadi sumber dari politik transaksional. Praktek politik uang terjadi akibat pembiayaan kampanye yang tidak dilaporkan seluruhnya oleh paslon dan penyumbang saat melakukan pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dan rapat umum.
"Interaksi dengan pemilih yang intensif dan dorongan untuk kampanye secara langsung berpotensi meningkatkan politik transaksional," ujar dia.
Selain itu, batasan maksimal terhadap nilai bahan dan biaya kampanye sering tidak cukup efektif dalam prakteknya, yaitu dengan menurunkan harga bahan dan biaya kampanye itu. Dalam hal inilah, kata dia, politik uang pada akhirnya berkelindan dengan bahan dan biaya kampanye yang dikeluarkan.