REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis mengingatkan, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 36 ayat 1,2,3,4,5 UU Nomor 12 Tahun 2008 terkait pemeriksaan pejabat negara diduga terlibat pidana harus ada izin tertulis Presiden.
"Karena itu proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah yang melakukan tindak pidana kejahatan dapat dijalankan tanpa harus mendapat izin secara tertulis dari presiden," katanya di Jakarta, Selasa (25/10).
Hal itu diungkapkannya terkait Basuki Tjahaja Purnama menemui Presiden Joko Widodo sebelum diperiksa Bareskrim Mabes Polri pada Senin (24/10). Margarito mengatakan langkah Ahok menemui Presiden Jokowi hanya untuk menakut-nakuti Bareskrim bahwa dirinya merupakan teman presiden.
Karena itu menurut dia, penegak hukum tidak perlu khawatir dengan manuver calon gubernur yang diusung PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Nasdem itu. "Semua orang memang tahu Ahok teman Jokowi. Tetapi, di mata hukum sama semua. Ingat penyidik harus lebih takut dengan Tuhan," tegasnya.
Dia menilai hal yang salah jika Bareskrim ingin memeriksa Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama, namun harus ada izin dari Presiden Jokowi. Margarito menegaskan, jika memang dalam proses pemeriksaan ditemukan dua alat bukti, Bareskrim tidak perlu ragu untuk meningkatkan proses hukumnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) mendatangi Bareskrim Mabes Polri pada Senin (24/10) terkait laporan dugaan penistaan agama yang dilakukannya saat berpidato di depan masyarakat Kepulauan Seribu, beberapa waktu lalu.
Namun sebelum menuju Bareskrim, Ahok menyambangi Istana Negara, untuk bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetapi tidak diketahui apa yang menjadi bahasan dalam pertemuan tersebut.