Kamis 20 Oct 2016 19:38 WIB

Pembangunan di Sleman Ancam Persediaan Air

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Fernan Rahadi
Pembangunan hotel/ilustrasi
Foto: Antara
Pembangunan hotel/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pembangunan di Kabupaten Sleman semakin mengancam persediaan air untuk masyarakat setempat baik air tanah, air bawah tanah, maupun air permukaan. Hal itu disebabkan alih fungsi lahan akibat pembangunan dapat mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan.

"Pembangunan dapat mengganggu ekosistem air. Seharusnya hotel dan mal pakai air bawah tanah dari sumur bor dengan kedalaman 105 meter. Dinding sumur pun harus disemen agar tidak rembes," kata Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sleman Purwanto, Kamis (20/10). Proses penggalian juga harus melalui metode geolistrik terlebih dulu.

Namun pada kenyataannya, menurut Purwanto, saat ini banyak pengembang pembangunan nakal yang hanya menggali sumur sampai kedalaman 50 meter. Ketika air sudah muncul, penggalian tidak dilanjutkan sampai pada standar kedalaman sumur bor. Hal tersebut membuat air tanah tersedot dan menyusut dalam jumlah besar.

Selain pembangunan hotel dan mal, pembangunan rumah sakit pun ikut jadi penyumbang menyusutnya persediaan air tanah di lingkungan pemukiman. Adapun daerah dengan tingkat pembangunan paling tinggi ditempati oleh wilayah Depok timur, dimana pembangunan hotel, mal, dan rumah sakit berkembang pesat di sana.

Guna mencegah kelangkaan air pada musim kemarau, BLH Sleman mengimbau agar warga membuat sumur resapan di masing-masing rumah. "Idealnya setiap 60 meter persegi lahan harus memiliki satu sumur resapan," tutur Purwanto menjelaskan.

Ia mengemukakan, sumur tersebut berfungsi sebagai area penampungan air. Sehingga saat musim kemarau datang, masyarakat dapat memanen air yang selama musim hujan sudah tertampung di sana.

Sebelumnya Bupati Sleman, Sri Purnomo, sempat mengakui alih fungsi lahan di Sleman cukup tinggi. Ia mengemukakan, selama lima tahun terakhir luas pesawahan di kabupaten setempat menurun, rata-rata 0,11 persen per tahun.

Sementara luas pekarangan naik 0,13 persen per tahun, dan luas tegalan turun 0,02 persen per tahun. Kondisi ini menunjukkan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang semakin tinggi dan sulit dikendalikan. 

"Perubahan lahan yang dominan yaitu lahan pertanian menjadi tanah kering untuk pemukiman. Alih fungsi lahan yang terjadi mengakibatkan semakin sempitnya luas lahan sawah dan tegalan dari tahun ke tahun," tutur Sri. 

Oleh karena itu, Pemkab Sleman menyarankan agar pembangunan bangunan dilakukan secara horizontal ke atas, sehingga tidak banyak memakan ruang terbuka hijau. Dengan begitu, keberadaan lahan serapan air dapat dipertahankan. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement