REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses pelaporan dugaan tindak pidana penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus berdiri sendiri. Artinya, proses tersebut tidak perlu dikait-kaitkan dengan tuduhan politisasi menjelang pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2017.
"Ini urusannya bukan politik atau tidak politik, melainkan terbukti atau tidak terbukti bahwa dia melakukan penistaan agama," ujar pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir kepada Republika.co.id, Sabtu (15/10).
Dia pun mempertanyakan, apakah seandainya ada kandidat calon kepala daerah yang melakukan perampokan atau pemerkosaan, maka proses pemeriksaannya akan ditunda? Logika penundaan pemrosesan Ahok hingga penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) selesai dinilainya tidak pas.
"Tegakkan hukum dengan 'menutup mata'. Kapanpun mereka melakukan kejahatan ya diproses. Semuanya harus sama," kata dia mengingatkan.
Bareskrim Polri menyatakan akan mempertimbangkan untuk menangguhkan proses hukum yang membelit Ahok dengan alasan momentumnya mendekati penyelenggaraan pilkada. Hal ini dilakukan guna menghindari tuduhan politisasi untuk kepentingan tertentu, khususnya tuduhan Polri digunakan sebagai alat untuk menghambat kandidat kepala daerah tertentu.
Menurut Muzakkir, alasan kepolisian tersebut tidak memiliki argumentasi hukum dan tidak menegakkan asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law). "Kalau kaya gitu artinya hukum dikalahkan orang, keuasaan, ini jelas kebijakan inkonstitusional," ujarnya.
Kepolisian, kata Muzakkir, juga tidak memiliki alasan untuk menunda pemeriksaan terhadap Ahok. Penundaan pemeriksaan hanya dilakukan terhadap orang yang sakit atau gila. Seandainya kepolisian tetap menunda pemeriksaan terhadap Ahok, maka semua tindak pidana yang membelit calon kepala daerah ataupun masyarakat awam juga harus dihentikan agar ada persamaan dalam hukum. Kapolri harus memastikan bahwa setiap proses terhadap pelaporan tindak pidana berjalan sebagaimana mestinya.
Muzakkir menyebut DPR bisa memanggil Kapolri apabila kepolisian menghalang-halangi proses hukum tersebut. Kejahatan yang berkaitan dengan agama mampu menimbulkan konflik luar biasa, apalagi ada perbedaan etnis dan agama di dalamnya. Dia mengapresiasi zaman pemerintahan Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto. "Kalau sudah menyangkut urusan SARA, Pak Harto turun, jadi aman," ujarnya.