REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Santri menjadi aset potensial bangsa Indonesia dalam membendung propaganda radikalisme dan terorisme di dunia maya (cyber). Pasalnya, santri yang telah mendapat gemblengan ilmu agama akan mampu mementahkan upaya kelompok radikal terorisme yang selalu memelintir makna ayat-ayat suci Alquran dan Hadis.
"Saya kira sudah saatnya para santri aktif mempertahankan nilai-nilai agama dan kebangsaan dengan deradikalisasi di media massa atau media sosial. Santri itu punya keunggulan substansi dalam bidang ilmu agama. Ini tentu akan makin efektif membantu pemerintah dalam memerangi propaganda radikal terorisme di dunia cyber," ungkap Peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial/LP3ES, Adnan Anwar di Jakarta, Jumat (14/10).
Adnan menambahkan, santri dalam mempelajari agama di pesantren minimal selama 10-13 tahun sehingga memiliki pendalaman ilmu agama yang luas. Di pesantren, santri juga diajarkan ilmu fiqih tentang kenegaraan, sosial, dan lain-lain. Dengan modal itu, bila dilibatkan dalam proses deradikalisasi, santri akan lebih kuat dalam memberikan argumen dan pemahamannya, dibandingkan dengan orang biasa. Selain itu, santri mempunyai pemikiran luas ketika memberikan paparan tentang NKRI.
"Peran ini yang harus dimainkan di media sosial atau dunia maya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Utamanya dalam memerangi perang siber melawan kelompok radikal terorisme," ujar mantan Wakil Sekjen PBNU itu.
Adnan menyadari, propaganda yang dimainkan kelompok radikal terorisme melalui dunia maya sangat gencar. Karena itu, santri juga harus aktif berdakwah, baik berupa video maupun tulisan di media sosial. Langkah itu harus dilakukan karena selama ini banyak orang yang belajar agama melalui internet cenderung membaca instan. Kondisi ini harus dilawan para santri dengan memberikan pemahaman dan argumen yang luas, tetapi tetap populer sehingga mudah dibaca pengguna internet yang masih awam, baik di desa maupun di kota.
Dengan fakta diatas, Adnan menyarankan harus dibuat situs-situs kontra radikalisasi. Untuk itu, ia meminta pemerintah harus memfasilitasi kekuatan yang dimiliki santri. Selain itu, pemerintah harus menggandeng pesantren terkait siber santri dalam melawan radikalisasi.
"Selama ini saya lihat peran santri untuk melawan itu melalui dunia maya masih kurang. Saya kira BNPT dan Kemenkominfo perlu menggandeng pesantren seperti mengadakan pendidikan-pendidikan IT yang bertujuan untuk menyusun pasukan cyber pesantren itu," ulas Adnan.