Senin 10 Oct 2016 15:28 WIB

Moratorium Pembangunan Hotel Yogyakarta Diakomodir Hingga 2017

Rep: Yulianingsih/ Red: Indira Rezkisari
 Jalan Malioboro di Yogyakarta.
Foto: Antara/Noveradika
Jalan Malioboro di Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Desakan DPD Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) agar Pemkot Yogyakarta melakukan perpanjangan moratorium pembangunan hotel hingga 2019 ternyata tidak diakomodir sepenuhnya oleh Pemkot Yogyakarta. Desakan DPD PHRI yang disampaikan beberapa bulan lalu tersebut hanya diakomodir sebagian saja. Pemkot Yogyakarta memang memperpanjang moratorium pembangunan hotel di Kota Yogyakarta, namun hanya satu tahun saja hingga akhir 2017 mendatang.

Perpanjangan moratorium pembangunan hotel di Kota Yogyakarta ini tertuang dalam Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 55 Tahun 2016 untuk menggantikan Peraturan Wali Kota Nomor 77 Tahun 2013 tentang moratorium penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel. Dalam Perwal lama dinyatakan bahwa moratorium penerbitan IMB hotel ditetapkan sejak 1 Januari 2104 sampai 31 Desember 2016. Namun dalam Perwal baru tersebut moratorium penerbitan izin IMB diperpanjang hingga 31 Desember 2017.

"Kita belum menerima suratnya secara resmi, tetapi jika aturannya begitu kita akan laksanakan," ujar Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Hery Karyawan, Senin (10/10).

Menurut Hery, berdasarkan data hingga 31 Desember 2015 lalu ada 104 permohonan izin pembangunan hotel baru yang masuk ke pihaknya. Hingga saat ini kata dia masih ada sekitar 17 permohonan izin hotel yang belum dikeluarkan karena ada berbagai persyaratan yang belum terpenuhi.

Terpisah, Ketua DPD PHRI DIY, Istidjab Danunegoro mengatakan, keputusan Pemkot Yogyakarta yang hanya memperpanjang moratorium pembangunan hotel tidak begitu memuaskan bagi pihaknya. PHRI meminta Pemkot melakukan kebijakan yang sama dengan Pemkab Sleman yang melakuklan moratorium pembangunan hotel hingga 2019. "Usulan kita bukan tanpa alasan, tingkat okupansi kamar hotel semakin rendah, sementara pembangunan hotel terus menerus. Artinya kami masih terus berjuang," katanya.

Menurutnya, berdasarkan data PHRI, tingkat okupansi hotel bintang di Kota Yogyakarta pada 2014 sebesar 57,48 persen dan non bintang (melati) 26,77 persen. Sedangkan 2015 tingkat okupansi hotel bntang 57,64 persen dan non bintang 27,11 persen. Tingkat okupansi hotel sendiri menurutnya tidak sama setiap zona. Untuk hotel bintang di ring I yaitu di seputaran Malioboro tingkat okupansinya bisa mencapai 90 persen. Ring II atau keluar sedikit dari Malioboro tingkat okupansi mencapai 70-80 persen dan ring III agak jauh dari Malioboro tingkat okupansi mencapai 60-70 persen.

Namun untuk resor dan hotel bintang di pinggiran termasuk di Merapi tingkat okupansi hanya 40 persen. "Pada hari puasa Ramadhan paling hanya 10 persen saja okupansi hotel di pinggiran," katanya.

Menurut Istidjab, tingkat okupansi yang rendah ini juga diikuti munculnya pembangunan hotel baru yang cukup tinggi di Kota Yogyakarta dan Sleman.

Berdasarkan data PHRI kata dia, sejak 2014-2016 ini ada 104 hotel yang mengajukan izin membangun bangunan ke Pemkot Yogyakarta. Dari jumlah ini 83 hotel sudah mengantongi izin IMB dan 31 lainnya masih terkendala masalah teknis. Dari 83 yang sudah memiliki IMB ini 26 diantaranya sudah membangun dan sisanya belum. Bertambahnya hotel baru ini kata dia, jelas akan mempengaruhi tingkat okupansi hotel di DIY.

"Kalau di Yogya dan Sleman sudah cukup penuh. Harusnya pembangunan hotel diarahkan ke Bantul, Kulonprogo dan Gunungkidul," katanya. Hingga 2016 ini jumlah hotel di DIY sebanyak 87 hotel bintang dan 1.100 hotel non bintang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement