REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded), Arif Susanto berpendapat, pertarungan politik di Pilkada DKI Jakarta masih mengandalkan strategi politik ketokohan. Sehingga, menurutnya yang diandalkan para calon dalam memenangkan kontestasi politik masih mengandalkan popularitas.
"Padahal harusnya lebih bergeser kepada politik ide. Jadi pertarungan antara Ahok dan yang lainnya, bukan pertarungan popularitas, tapi lebih pada pertarungan siapa di antara mereka yang memiliki ide lebih baik memperbaiki Jakarta," kata Arif saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (6/10).
Politik ketokohan yang dimaksud Arif adalah, ketiga pasangan calon yang berkontestasi di Pilkada DKI Jakarta masih mengandalkan back up dari ketua parpol yang merupakan tokoh nasional. Selain itu, para partai politik pun memilih calon yang memiliki popularitas.
"Pertama popularitas dari ketua parpol yang merupakan tokoh nasional. Kedua popularitas dari tokoh itu sendiri," ucap Arif.
Akibatnya, popularitas tersebut seolah-olah lebih penting dibanding kapabilitas. Seperti contoh, Anies Baswedan diusung Gerindra dan PKS, yang menjadi salah satu pertimbangan adalah popularitas sebagai mantan menteri pendidikan.
Begitu pun dengan Agus Harimurti Yudhoyono yang sekalipun sebelumnya tidak begitu dikenal masyarakat, sosok ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono masih membekas di ingatan masyarakat. Begitu pun dengan Ahok yang juga mendapat bantuan peran dari mantan presiden RI, Megawati Soekarnoputri.