Selasa 04 Oct 2016 20:59 WIB

Komisi I Optimistis RUU ITE Disetujui Oktober

Saifullah Tamliha
Saifullah Tamliha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI, Saifullah Tamliha optimistis revisi Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) segera selesai dan dapat disetujui pada akhir masa persidangan ini yakni akhir Oktober 2016.

"Pembahasan RUU ITE, tidak ada perbedaan prinsip antara DPR dan Pemerintah, sehingga dapat berjalan lancar," katanya di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa (4/10).

Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah Ketua Panitia Kerja RUU ITE dari Pemerintah, Hendri Subiakto. Menurut Tamliha, revisi UU ITE hanya merevisi empat dan menambahkan dua pasal dari 75 pasal dalam UU tersebut.

Politikus PPP ini juga menjelaskan posisi pasal 27 (3) sudah diatur dalam pasal 310 dan 311 KUHP berdasarkan delik aduan. Kemudian, pasal 31 terkait penyadapan, serta menghapus ayat (4) sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.5/PUU-VIII/2016, dimana penyadapan merupakan pelanggaran HAM, seperti ditegaskan dalam pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.

Perubahan lainnya, pada pasal 45 terkait ketentuan pidana terhadap pelanggaran dalam pasal 27 ayat (3) mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Menurutnya sanksi pidana terhadap pelanggaran pasal 27 itu yang semula dipidana 6 tahun atau denda Rp 1 miliar, diubah menjadi 4 tahun dan atau denda Rp 750 juta.

Untuk tambahan dua pasal, yakni pasal 45A dan 45B, tapi hanya terkait penulisan dalam UU. Ketua Panja RUU ITE dari Pemerintah, menegaskan pembahasan RUU ITE ini batas waktunya hingga Desember 2016.

"Jika RUU ITE belum juga disetujui hingga akhir Desember 2016, maka UU ITE yang lama akan berlaku lagi," katanya.

Hendri menambahkan, terkait pencemaran nama baik dalam pasal 27 UU ITE, polisi tidak boleh lagi melakukan penahanan sebelum ada keputusan pengadilan. Staf Pengajar Universitas Airlangga Surabaya ini menambahkan, semua situs yang dapat diakses publik, baik servernya di dalam maupun di luar negeri, akan terkena aturan dalam UU ITE.

"Kementerian Kominfo,pernah menutup 22 situs yang dinilai bertentangan dengan NKRI dan Pancasila, dan hanya satu dua pemilik situs yang protes ke Kominfo RI, selebihnya berarti abal-abal," ucapnya.

Hendri menilai RUU ITE lebih demokratis, karena Pemerintah tetap melindungi kepentingan umum dengan mem-block media sosial atau situs yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.

"Jadi, Pemerintah berwenang melakukan pencegahan dan penegakan hukum," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement