Selasa 04 Oct 2016 20:21 WIB

Angka Perceraian di Sumut Terus Meningkat, Penyebabnya...

Rep: Issha Harruma/ Red: Israr Itah
Sejumlah warga mengurus proses perceraian di Pengadilan Agama (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah warga mengurus proses perceraian di Pengadilan Agama (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Tingginya angka perceraian di provinsi Sumatra Utara diduga karena telah berubahnya pola pikir masyarakat. Semakin majunya perempuan membuat makin banyak kaum istri yang mengajukan gugatan cerai.

Sosiolog Universitas Sumatera Utara (USU) Harmona Daulay mengatakan, dalam pandangan normatif yang lama, perceraian masih dianggap menyimpang oleh para istri. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, cara pandang tersebut telah berubah. Ia mengatakan ada kesadaran di kaum perempuan, dari pada tersiksa lebih baik berpisah.

"Apalagi sekarang banyak perempuan yang mandiri. Makanya saya menilai kalau perempuan menggugat, ada kemandirian yang tinggi dan rasa percaya diri untuk bisa hidup sendiri dengan pegangan pekerjaan dan dukungan keluarga besarnya," kata Harmona kepada Republika.co.id, Selasa (4/10).

Harmona mengatakan, kemajuan wawasan dan eksistensi di dunia kerja membuat kaum perempuan lebih independen dan tidak lagi mau tersiksa dalam rumah tangga. Hal ini, lanjutnya, diperparah dengan semakin terkikis dan bergesernya fungsi-fungsi keluarga dalam masyarakat.

"Ini mengakibatkan interaksi yang kuat antar suami-istri menjadi hal yang langka," ujar dia.

Selain itu, Harmona mengatakan, media sosial juga bisa menjadi pemicu perceraian. Hal ini berkaitan dengan isu perselingkuhan yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perceraian. Masalah lainnya, menurut dia, yakni kekerasan dalam rumah tangga dan faktor ekonomi.

"Terkait banyaknya pasangan muda yang bercerai itu karena mereka memasuki pernikahan enggak siap secara mental, psikologi dan sosial," kata Harmona.

Dia pun mengingatkan dampak yang muncul dari perceraian. Menurut Harmona, dampak yang paling mengerikan akan menimpa anak dari pasangan yang bercerai tersebut.

"Perceraian itu yang happy pasangan tapi buat anak itu enggak ada. Walaupun orang tuanya bercerai damai tapi secara sosiologis, anak akan merasa sebagai anak broken home dan tertekan," kata dia mengingatkan.

Dengan diasuh dengan salah satu pihak saja, efek psikologis dan sosiologis ke anak disebutaknnya sangat jelek. Kalau pun ada yang berhasil, menurut Harmona, tidak banyak

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Agama Medan mencatat angka perceraian di provinsi Sumatra Utara terus meningkat tiap tahun. Perkara perceraian didominasi oleh cerai gugat atau gugatan para istri.

"Kebanyakan yang mengajukan cerai ini berusia muda. Usia 30-an tahun. Yang baru nikah terus cerai juga banyak," kata Panitera Muda Hukum Pengadilan Tinggi Agama Medan Syarwani kepada Republika.co.id, Senin (3/10).

Perempuan yang biasa disapa Rini ini menyebutkan, pada 2014, ada 10.429 perkara perceraian yang telah diselesaikan di 20 Pengadilan Agama di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Medan. Jumlah ini meningkat pada 2015, yakni ada 10.834 perkara yang diselesaikan. Untuk 2016 ini, hingga bulan Agustus, ada 6.653 perkara perceraian yang diputus di seluruh Pengadilan Agama wilayah Sumut.

"Kota Medan menempati urutan tertinggi untuk perkara perceraian ini," ujar Rini. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement