REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Komunikasi Politik, Anang Sudjoko mengapresiasi ketiga Pasangan Calon (Paslon) Gubernur DKI Jakarta 2017 mendatang. Mengingat sebelumnya bertekad untuk melakukan kampanye damai.
Tidak hanya itu, keenam calon juga bakal mengedepankan perang gagasan dibanding dibanding saling menyerang. Namun dia juga cukup menyesalkan dengan maraknya perang urat syaraf yang cenderung saling menjatuhkan lawannya.
Menurutnya, terjadinya perang urat syaraf yang tidak sehat tersebut diakibatkan oleh dua faktor. Di antaranya, karena minimnya kreativitas tim sukses (timses) pemenangan masing-masing calon.
Pemerhati asal Universitas Brawijaya (UB) Malang itu menyebutkan karena minimnya kreativitas timses pemenangan dalam berkampanye, maka mereka mudah untuk melalukan kampanye hitam dengan saling melemparkan statemen yang melemahkan lawan-lawannya.
Sebagai contoh, pejawat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) secara tidak menuding calon Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno melakukan pengemplangan pajak, karena mengikuti program pengampunan pajak atau amnesti pajak. Kemudian Sandiaga Uno membalasnya dengan menantang Ahok untuk ikut program tersebut.
"Karena minimnya kreativitas tim mereka, akibatnya tidak tahu apa yang akan mereka lakukan untuk mengangkat elektabilitas jagoannya kecuali dengan menyerang lawannya," kata Anang Sudjoko saat dihubungi melalui seluler, Selasa (4/10).
Kemudian faktor selanjutnya adalah mereka para Paslon, para timses dan partisipan tidak bisa mengontrol bicaranya saat berada di ruang publik. Akibatnya mereka dengan mudah terprovokasi oleh lawanya untuk mengumbar pernyataan yang lebih cenderung memojokkan lawannya, hingga kampanye hitam pun tidak terelakkan.
Sebenarnya kata Anang Sudjoko, cara berkampanye seperti itu, bukanlah strategi yang diterapkan keenam calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Sebab dari awal strategi mereka adalah menerapkan politik santu.
"Saya kira itu bukan strategi mereka untuk menaikkan elektabilitasnya, tapi karena minimnya kreativitas tim dan mereka kurang bisa mengontrol saat berada di ruang publik," tambah Anang.
Sebelumnya, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)untuk melarang adanya kampanye hitam di media sosial antar pasangan calon kepala daerah dengan membuat aturan yang tepat dan ketat. Disebutnya kampanye hitam rawan akan konfik antar pendukung calon kepala daerah, tidak terkecuali dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di DKI Jakarta.