REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (ATPRI) mendukung usaha Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kemelut tata niaga gula di Indonesia. Khususnya, tata niaga yang tidak berpihak kepada kepentingan nasional dan malah merugikan rakyat dan perekonomian negara.
Ketua Umum Dewan Pembina APTRI Arum Sabil mengatakan kemelut tata niaga gula bermula dari penghitungan kebutuhan gula yang dinilai tidak akurat. Mengutip pernyataan Menteri Perdagangan tahun 2015, Arum menyebut perhitungan pemerintah yang mengatakan kebutuhan gula Indonesia sebesar 5,7 juta ton setahun, terdiri dari gula konsumsi 2,8 juta ton dan gula industri (rafinasi) sebesar Rp2,9 juta ton.
Sedangkan menurut survei dan penghitungan APTRI sendiri, kebutuhan gula nasional hanya 4,6 juta ton yang terdiri dari kebutuhan kunsumsi rumah tangga 2,3 juta ton dan gula industri 2,3 juta ton.
Arum menduga pengelembungan kebutuhan gula ini hanya pintu masuk bagi importir gula untuk mendapatkan kuota impor yang lebih besar untuk menutup kekurangan produksi dalam negeri yang disebutkan hanya sekitar 2,5 juta ton.
Menurut data APTRI, tahun 2015 pemerintah membuka kran impor gula sebesar 3,5 juta ton dan angka yang lebih kurang sama untuk tahun 2016 ini. Impor dilakukan oleh perusahaan BUMN dan perusahaan swasta yang dia sebut sebagai kelompok 11 Naga dan Lima Samurai.
Impor gula ini menyangkut bisnis yang sangat besar. Bila untuk setiap kilogam gula impor ada marjin keuntungan Rp1.000 saja, maka bisnis gula impor ini menyangkut permburuan rente sebesar Rp 3,5 triliun.
“Siapa yang tidak tertarik,” kata Arum dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (29/9).
Kebijakan tata niaga tersebut, kata dia, sama dengan membunuh industri gula dalam negeri dan para petani tebu yang jumlahnya jutaan orang di seluruh Indonesia.