REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Asrorun Niam Sholeh menyoroti anak pelaku terorisme di rumah tahanan yang kerap diperlakukan dengan hukuman sebagaimana orang dewasa.
"KPAI menemukan proses radikalisasi anak pelaku terorisme terjadi di dalam rumah tahanan, akibat terjadinya interaksi dan doktrinasi dari narapidana terorisme dewasa," kata Niam, Rabu (28/9).
Menurut dia, undang-undang mengatur anak pelaku terorisme digolongkan sebagai korban yang harus mendapat perlindungan khusus. Sementara penanganan anak tersebut harus mengedepankan pendekatan pemulihan.
"Ini PR besar bagi kita semua dalam penanganan kasus terorisme di Indonesia. Di satu sisi kita harus keras memberi hukuman terhadap pelaku demi melahirkan efek jera, tapi di sisi lain kita harus memutus mata rantai terorisme anak dengan pendekatan rehabilitatif dan restoratif," kata dia.
Niam mengatakan harus ada perlakuan khusus terhadap anak yang terpapar ajaran terorisme. Pendekatan bukan dengan penghukuman dan pemenjaraan (punitif) sebagaimana orang dewasa yang dijerat kasus terorisme.
"Ini harus menjadi konsen kita bersama. Untuk menangani masalah ini, KPAI dan BNPT saling menjalin komunikasi guna merumuskan mekanisme dan model pencegahan dan penanggulangan anak-anak yang terpapar terorisme dengan pendekatan reedukasi," kata dia.
Dia mencontohkan kasus IAH (terdakwa terorisme anak di Medan) yang sekarang sedang dalam proses peradilan harus dijadikan momentum untuk penerapan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana diatur UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Untuk itu, lanjut dia, jaksa dan hakim harus berpedoman dan mengedepankan prinsip-prinsip restorative justice seperti tertuang dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dalam pertimbangan dan putusannya.
"Apalagi, anak sudah mengaku salah, menyesali perbuatannya, meminta maaf dan meminta untuk dibina. Ini adalah momentum besar untuk menyelamatkan anak dari doktrinasi yang lebih mendalam. Jaksa dan hakim punya kewajiban untuk pemulihan," kata Niam.