REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta. Dari ketiganya, banyak yang memprediksi pasangan pejawat Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) akan jauh mengungguli pasangan lainnya.
Tepatkah prediksi tersebut? Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpandangan berbeda.
Menurut Siti, bisa saja pilgub kali ini 'bernasib' sama dengan pilgub kala Joko Widodo melawan Fauzi Bowo (Foke).
Saat itu, berbagai survei menunjukkan elektabiltas Foke sebagai pejawat jauh lebih unggul dibanding Jokowi, bahkan hingga 50 persen. Namun, kenyataannya hasil perhitungan suara justru sebaliknya. Jokowilah yang keluar sebagai pemenang.
"Jadi intinya kita tidak bisa menyimpulkan secepat itu (Ahok akan menang). Suara akan terfragmentasi menuju ketiganya. Heterogenitas ada," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (23/9).
Ada faktor lain yang Siti cermati. Dia melihat ada kegamangan dari pasangan Ahok-Djarot karena elektabilitasnya terus menurun.
"Ini bisa menjadi kesempatan pesaing Ahok untuk mengambil kesempatan, terutama lewat ide atau gagasan yang berbeda dan menarik. Jangan memposisikan petahana (pejawat) selalu menang. Parpol (pesaing Ahok) jangan kecut," kata Siti.
Sejak 2015, Siti mengamati parpol mengalami krisis kader. Buktinya, calon gubernur DKI malah datang dari luar parpol. Tengok saja Ahok, Agus Harimurti Yodhoyono, dan Anies Baswedan. "Ini membuktikan parpol seolah tidak percaya oleh kadernya sendiri."