REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat dinilai harus terus mencermati kasus vaksin palsu agar segera dilakukan proses hukum. Alih-alih menemukan titik terang benderang, kasus ini malah berlarut-larut. Disinyalir masih ada pihak-pihak yang kurang mendukung penuntasan.
“Pengungkapan hukum dalam kasus vaksin palsu masih membutuhkan waktu dan pengawalan dari masyarakat agar bisa berjalan terbuka dan terang benderang, ” ujar Pengamat kesehatan, Marius Widjajarta dalam siaran persnya, Jumat (23/9).
Ia meminta semua pihak agar mendukung proses hukum, termasuk di insitusi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sebagai wadah para dokter, IDI sudah semestinya memberikan dukungan terhadap oknum dokter yang diduga terlibat.
“Support yang dimaksud adalah agar oknum dokter yang diduga terlibat kasus vaksin palsu itu berani mempertanggungjawabkan segala perbuatan di depan hukum, ” ucapnya.
Sebagai wadah para dokter, IDI dituntut juga melakukan penegakan kode etik termasuk bagi mereka yang diduga melanggar SOP dan etika profesi dokter.
“Sudah sewajarnya sebagai wadah para dokter, IDI bersikap independen dan tidak bersikap defensif dan menunggu keputusan pengadilan. Bukan sebaliknya ada kesan memberikan pembelaan padahal oknum dokter diduga melanggar kode etik dan SOP profesi, ” katanya.
Jaksa Muda Pidana Umum (JPU) Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengatakan, saat ini masih meneliti terhadap berkas perkara yang dilimpahkan oleh Bareskrim sebelum berlanjut ke ranah persidangan.
Sebelumnya, pada Senin (19/9), JPU telah mengembalikan sebagian berkas perkara vaksin palsu ke Bareskrim. Kemudian, berkas-berkas inilah yang dilengkapi dan kembali dilimpahkan ke Kejagung, Kamis (22/9).
"Memang diakui bahwa ada hal-hal formil dan materil yang masih harus dilengkapi. Tapi, saya tidak bisa sampaikan karena itu terlalu teknis," katanya.
Sementara itu, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dir Tipideksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim Polri) telah melimpahkan kembali 13 berkas perkara kasus vaksin palsu ke Kejaksaan Agung.
"Ke-13 Berkas perkara sudah dikirim ke kejagung setelah dilengkapi hal yang diperlukan JPU untuk dapat menuntut maksimum para pelaku, tidak hanya pembuat vaksin palsu tapi juga para distributor dan pengguna vaksin yang diketahui melanggar hukum," ujar Direktur Tipideksus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya, kemarin.
Pertama kali Bareskrim Polri melimpahkan berkas vaksin palsu ke JPU pada 22 Juli 2016. Lalu, dua bulan berselang, berkas perkara belum dinyatakan lengkap atau P21 oleh JPU.
Namun, Direktur Tipideksus Bareskrim Polri itu menolak menyampaikan telah berapa kali berkas perkara tersebut dikembalikan oleh JPU alih-alih dinyatakan lengkap.
"Memang dalam proses saling mengisi, maka ada dinamikanya dan yang kita dalami adalah manuver pihak-pihak yang tidak patuh hukum," katanya menambahkan.