Jumat 23 Sep 2016 14:41 WIB

Kisah Sedih Korban Bencana Garut Mencari Sang Kakak

Rep: Kabul Astuti/ Red: Bilal Ramadhan
Relawan Baznas membantu evakuasi korban banjir di Garut.
Foto: baznas
Relawan Baznas membantu evakuasi korban banjir di Garut.

REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Mengenakan jilbab warna hitam, Ibu Eri (48 tahun) menangis sesenggukan di tepi Sungai Cimanuk, Tarogong Kidul, Kab Garut. Ia kehilangan kakak perempuan, Dedeh Sumiyati (52 tahun) dan keponakannya Lena Agustina (18 tahun).

"Sampai sekarang juga belum ketemu," tuturnya sambil berurai air mata, kepada Republika, Kamis (22/9). Eri mengaku kehilangan kakak dan keponakannya yang masih duduk di kelas 2 SMA dalam bencana banjir bandang, Selasa (20/9).

Tampak di tepi sungai Cimanuk, lahan yang dulunya permukiman warga sudah luluh lantak rata dengan tanah. Puing-puing pondasi rumah dan sisa material yang berserakan membuktikan betapa dahsyatnya banjir bandang Selasa (20/9) dini hari itu. Kondisi sungai sudah surut, tinggal jalanan berlumpur sisa banjir.

Eri menceritakan, hujan deras mengguyur disertai air kencang sejak Selasa (20/9) pukul 08.00 WIB. Rumah kakaknya, Dedeh Sumiyati, terletak persis di tepi aliran Sungai Cimanuk di RW 02 Kel Sukakarya, Tarogong Kidul. Dedeh hanya tinggal berdua bersama anaknya, Lena Agustina, di rumah bercat tembok merah muda itu.

Sesaat sebelum banjir bandang dan suara terdengar bergemuruh dari tepi sungai tengah malam itu, salah satu keponakan Eri sempat berusaha menengok rumah Dedeh Sumiyati. Namun, apa daya. Air sudah tinggi menggenangi jalan.

"Pukul 23.30 WIB, dicari ke rumah sama keponakan saya yang (tinggal) di atas. Tapi jalan ke tempat dekat ke RS itu air gede banget. Mau lihat kakak saya udah nggak keburu air gede banget," tutur Eri.

Menurut perempuan 48 tahun ini, permukiman di sepanjang Sungai Cimanuk memang sudah beberapa kali terkena banjir. Namun, biasanya genangan air tidak terlampau tinggi. Air masuk ke dalam rumah paling tinggi hanya selutut orang dewasa. Banjir bandang kali ini adalah yang terparah seumur hidupnya. "Kalau banjir, nggak terlalu parah kayak gini," tutur dia.

Pada pukul 01.30 WIB dini hari, ketika air sudah mulai surut, Eri kembali berusaha menengok kondisi kakaknya. Namun, langkahnya masih terhalang genangan air bercampur lumpur. Orang-orang sudah mulai ramai berkumpul.

Ia saat itu sangat resah dan khawatir tak kunjung bisa mengetahui kondisi kakaknya, apalagi melihat genangan air demikian tinggi. Esok paginya, Eri tak kuasa menahan air mata ketika mendapati rumah kakaknya sudah luluh lantak tinggal tersisa puing-puing pondasi.

Ia masih ingat benar rumah kecil milik kakaknya yang bercat tembok merah muda itu. Dedeh Sumiyati tidur di salah satu kamar yang bercat hijau, persis berhadapan dengan sungai. "Itu kamarnya yang cat hijau itu," imbuh dia.

Ia sudah berusaha mencari kakaknya di RSUD dr Slamet Garut dan RS Guntur, namun kakaknya belum ditemukan. Eri juga sudah melaporkan kehilangan ke posko pengungsian. Sementara, dia dan keluarganya selamat karena lokasi tempat tinggalnya di RW 06 tidak berada persis di tepi sungai. "Saya harap ketemu, yang lain mah sudah ketemu. Tolong ya usahain," pintanya sungguh-sungguh.

Diketahui, bencana banjir bandang yang terjadi pada Selasa (20/9) dini hari di Garut, Jawa Barat menghancurkan 380 rumah penduduk. Sebanyak 23 orang tewas, 18 hilang, sedangkan puluhan lainnya luka-luka. Sejumlah fasos fasum juga mengalami kerusakan akibat bencana ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement