REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Dadan Ramdan mengatakan, daerah tangkapan air di Kabupaten Garut semakin menyusut. Lahan hijaunya pun menyusut baik di hulu sungai dan di tengah.
"Daerah tangkapan airnya sudah banyak mengalami alih fungsi lahan jadi pemukiman dan pertanian," kata Dadan kepada Republika.co.id, Kamis (22/9).
Menurutnya, saat ini semakin banyak pemukiman di daerah dataran tinggi. Sementara, hutannya semakin menyusut, salah satunya karena bisnis wisata. Kondisi tersebut mengakibatkan air yang terserap hanya 30 persen.
Sementara, 70 persen lagi airnya menjadi air larian yang mengalir ke anak-anak sungai. Anak-anak sungai tersebut menumpahkan airnya ke Sungai Cimanuk. "Harusnya air yang diresap 70 persen, air lariannya 30 persen," ujar Dadan.
Diterangkan dia, seharusnya air larian lebih sedikit daripada air yang terserap di wilayah serapan air. Menurutnya, air larian dari dataran tinggi itu pun menjadi salah satu faktor penyebab meluapnya Sungai Cimanuk. Hujan deras hanya pemicunya saja.
Sementara, wilayah Garut memiliki kondisi tanah yang rentan dan labil. Jika tanahnya terkikis air yang dipicu oleh hujan, maka mudah terjadi longsor.
Selain itu, Dadan mengatakan, tata ruang di wilayah Garut kota juga menjadi masalah. Saat ini, tempat parkir air sudah berkurang karena tempat parkirnya menjadi pemukiman. Dulu wilayah pesawahan menjadi tempat parkir air. Tapi sekarang wilayah pesawahan sudah jadi pemukiman.
Menurutnya, Bendung Copong di Kecamatan Garut Kota juga diduga memperlambat aliran sungai Cimanuk. "Dugaan kami keberadaan Bendungan Copong mempengerahui kecepatan aliran sungai," kata Dadan.