REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direkur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Purwadi Arianto mengatakan telah terungkap sindikat kasus perdagangan orang utan senilai Rp 31 juta rupiah. Tersangka yang telah diamankan kata dia yakni Hendri Yasrudi alias HY dan Zulfikar alias Z.
Menurut Purwadi, penangkapan pertama yaitu dari tersangka HY yang diamankan di Terminal Kampung Rambutan pada 24 Juli 2016. Dari tangan HY, Polri berhasil mengamankan barang bukti satwa langka orang utan berumur sembilan bulan.
"Dari HY diketahui ada jaringan Sumatera sehingga dua hari kemudian diamankan tersangka Z," ujar Purwadi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (20/9).
Polri berhasil mengamankan Z di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 2016 lalu. Dari tangan Z juga Polri mendapatkan empat orang utan usia tujuh hingga sembilan bulan yang akan dijual seharga Rp 31 juta rupiah.
Empat ekor orang utan tesebut rencananya akan diserahkan kepada calon pembeli. Polri pun awalnya akan mengikuti saja, kepada siapa Z akan menjual satwa langka tersebut.
Akan tetap melihat satwa langka tersebut dalam kondisi yang mengenaskan sehingga Polri segera menangkap Z sebelum sempat menjualnya.
"Tadinya mau tunggu dulu sampai pada pembeli, tapi takut barang ini hilang dan kasian kondisinya sudah sangat mengenaskan jadi bisa mati sehingga kita tangkap pelakunya," ujar dia.
Sementara itu masih kata Purwadi orang utan dititipakan di Sumatra Orangutan Center, sedangkan untuk tersangka telah ditahan. Bahkan Tersangka atas nama HY saat ini berkas telah dinyatakan P21 sehingga telah tersangka dan barang bukti telah diserahkan pada jaksa penuntut umum.
Saat ditanyakan bagaimana pelaku mendapatkan satwa langka tersebut, menurut dia untuk mendapatkan anak orangutan biasanya dengan lebih dulu menembak mati ibu dari anak orangutan tersebut. Setelah itu sambungnya barulah anak orangutan tersebut diangkut untuk diperjualbelikan.
"Kalau nangkap anak orang utan berarti ibunya mati. Berarti dia ambil anak terus ibunya ditembak dimatikan baru anaknya bisa diambil. Sehingga ini mengganggu populasi. Kemudian diperdagangkan secara konvensional kemudian dijual melalui online, satu lagi dengan penyelundupan," ujarnya.