REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai dalam proses pencalonan kepala daerah, calon seharusnya bebas dari kasus hukum. Ini penting sehingga tidak ada "utang" di kemudian hari ketika menjadi kepala daerah.
"Ketika masa pencalonan, sebaiknya calon kepala daerah maupun calon presiden dan calon wakil presiden sebisa mungkin harus bersih urusan pribadinya," kata Fahri di Gedung Nusantara III, Jakarta, Selasa (13/9).
Menurut dia, kriteria itu juga menyangkut permasalahan hukum, yaitu seorang calon harus bebas dari kasus hukum. Fahri menilai, dalam tahap pencalonan tidak boleh ada beban hukum dari calon apalagi memiliki status tersangka atau pernah ditahan dalam kasus hukum.
"Saya tidak setuju (tersangka dalam pilkada), harus bersih kecuali kalau yang bersangkutan menjadi saksi. Kalau sudah jadi tersangka maka selayaknya gugur pencalonannya," ujarnya.
Sementara itu, menurut dia, apabila sudah lewat fase pencalonan, yaitu calon-calon sudah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, maka seharusnya ada kesepakatan agar penegak hukum jangan memproses dahulu kasus yang diduga melibatkan calon.
Menurut dia, hal itu untuk menghindari kekacauan dalam proses pilkada, namun kalau nanti sudah dilantik dan mau ditetapkan menjadi tersangka tidak masalah. "Nanti kalau setelah dilantik lalu mau dijadikan tersangka, tidak masalah. Karena dia sudah menjadi aparatur resmi dan harus bertanggungg jawab," katanya.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Komarudin Watubun menegaskan terpidana tidak boleh maju dalam Pilkada, itu berdasarkan ketentuan UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada, pada pasal 7 ayat (2) huruf g, mengatur bahwa berapapun hukuman yang dijatuhkan maka terpidana tidak boleh maju sebagai calon kepala daerah. "Aturan UU itu yang menjadi dasar dari sikap Fraksi PDI Perjuangan bahwa terpidana tidak bisa maju dalam pilkada," katanya di Jakarta, Sabtu.