REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ratusan siswa SD dan SMP se-Malang Raya pada Jumat (2/9) secara serentak memainkan permainan tradisional di Taman Krida Budaya Jawa Timur. Sebanyak 500 anak berkumpul memainkan berbagai permainan seperti gasing, kelom bambu, dan lompat tali.
Valencia Frenly dan Sifa Aulia, siswa SMPN 1 Batu nampak tengah mengantre giliran memainkan pistol bambu. Keduanya nampak bersemangat untuk segera bermain. Bagi generasi Z seperti Valencia dan Sifa, apalagi yang tinggal di perkotaan, waktu bermain sehari-harinya lebih lekat dengan gawai ketimbang permainan tradisional.
"Sebenarnya enak permainan tradisional karena banyak teman yang bisa ikut, tapi sudah terbiasa main game di ponsel yang lebih asyik," ungkap Valencia polos saat ditemui Republika, Jumat (2/9).
Acara yang melibatkan ratusan anak-anak ini merupakan rangkaian dari Pekan Budaya Indonesia yang berlangsung di Malang 1-5 September 2016. Pengenalan permainan tradisional bertujuan agar generasi muda tak asing dengan permainan asli tanah air.
Peneliti permainan tradisional, Zaini Alif, mengungkapkan Indonesia memiliki sekitar 2600 permainan tradisional. Dari jumlah itu hanya 60 persen yang masih bertahan. "Mayoritas dimainkan anak-anak di pinggiran kota dan perdesaan," katanya saat ditemui pada Jumat (2/9) di Malang.
Aktivis Komunitas Hong ini menyayangkan makin rendahnya minat anak-anak bermain permainan tradisional lantaran tergeser permainan modern. Padahal dalam permainan tradisional terkandung nilai-nilai kejujuran, kebersamaan, dan toleransi.
"Permainan modern perlu diketahui generasi muda agar tidak gagap teknologi namun orang tua jangan sampai lupa mengenalkan mainan tradisional," imbuhnya.
Direktur Pembinaan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kemendikbud Sri Hartini mengungkapkan permainan tradisional sudah masuk kurikulum dalam muatan lokal sejak 2012. Jawa Timur ditunjuk sebagai pilot project muatan lokal ini. Kini menginjak tahun keempat, sudah 10 provinsi yang menyisipkan permainan tradisional dalam muatan lokalnya.
"Kami sampai pada sosialisasi kurikulum muatan lokal sedangkan kewenangan untuk memasukkannya dalam materi pelajaran menjadi tanggung jawab kabupaten atau kota," pungkasnya.