REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR, M Misbakhun, mengaku khawatir dengan hilangnya Nawacita dalam RAPBN 2017. Sebab, sejak di tangan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, sudah tidak ada lagi Nawacita dalam pembuka RAPBN.
Misbakhun, dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, Kamis (1/9) malam mengatakan, dirinya sudah terlibat dalam tiga kali pembahasan APBN. Yakni APBN Perubahan 2015, APBN 2016, dan yang terakhir RAPBN 2017.
Namun, baru kali ini politikus Golkar itu mengaku bingung. Sebab, dalam buku RAPBN 2017 justru tak ada kata-kata Nawacita.
“Saya bawa nota keuangan sejak tahun awal. Di nota keuangan saat ini, saya bingung. Dulu selalu ada karena Nawacita di halaman pertama,” katanya.
Ia menegaskan, Joko Widodo menjadi presiden karena rakyat menginginkan realisasi Nawacita. Karenanya, realisasi Nawacita itu mestinya juga sudah tercermin dalam APBN.
“Kita memilih Jokowi karena Nawacita, cita-citanya. Dia yakin cita-cita itu sesuai dengan keinginan rakyat,” tegasnya.
Karenanya, Misbakhun mengingatkan Menkeu Sri Mulyani agar benar-benar konsisten berada di jalur Nawacita, sesuai keinginan Jokowi. “Dan perlu sebuah keyakinan di sini,” tegasnya.
Misbakhun juga meminta agar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak asal saja mengoreksi asumsi pertumbuhan ekonomi yang sudah ditetapkan oleh Presiden RI Joko Widodo, walau dengan alasan professional judgement sekalipun.
Sebelumnya, Sri Mulyani menyatakan, berdasarkan professional judgement atas kondisi teraktual, kemungkinan besar asumsi pertumbuhan ekonomi di RAPBN 2017 harus direvisi dari 5,3 ke angka 5,2. Padahal, Presiden Jokowi dalam pidatonya di hadapan MPR, DPR, dan DPD pada 16 Agustus lalu menyatakan, asumsinya adalah 5,3 persen. Nota resmi lalu disampaikan ke DPR berdasarkan pidato Presiden.
"Saya kembali soal professional judgement Menteri Keuangan, bahwa Pertumbuhan Ekonomi adalah 5,2 persen, sementara di nota keuangan presiden 5,3 persen. Ini akan sebabkan kebingungan kita, siapa mengoreksi siapa?" tegas Misbakhun.
Dilanjutkannya, Pidato Presiden Jokowi pada 16 Agustus lalu adalah pidato politik dan berada di ruang politik. Sehingga pasti sudah mempertimbangkan banyak professional judgement yang ada. Terbukti, kata Misbakhun, walau Menkeu SMI memproyeksikan ekonomi lesu, namun Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardoyo, justru lebih optimistis dibanding sang menteri.
"Maka harus jelas, benchmarking kita yang mana? Ingat, setiap professional judgement itu ada masing-masing argumentasinya. Sama seperti World Bank dan IMF juga ada argumentasinya. BI juga punya argumentasi," kata Misbakhun
"Saya sendiri memilih bahwa yang resmi adalah yang disampaikan Presiden di Nota Keuangan," tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Misbakhun juga menyinggung soal target pembangunan yang harus menjadi perhatian bersama. Yakni mengatasi kesenjangan dan memangkas rasio gini.
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menambahkan, dalam hal indeks pembangunan manusia (IPM), dulu Indonesia memimpin di ASEAN. Namun, posisi Indonesia justru sudah disalip Vietnam.
Karenanya, Misbakhun mengingatkan SMI agar sebagai Menkeu bisa mendistribusikan pendapatan yang berkurang dengan memacu pertumbuhan berkualitas. Wakil rakyat asal Jawa Timur itu tak mau SMI hanya memangkas APBN demi penghematan.
“Tapi bagaimana sektor yang memberikan jembatan pertumbuhan tadi tetap bertumbuh berkualitas, di mana pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pembangunan tetap berjalan,” pungkasnya.