REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK mulai memeriksa saksi perkara tindak pidana persetujuan pencadangan wilayah pertambangan, izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi dan persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP produksi ke PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) Sulawesi Tenggara 2008-2014.
Saksi yang diperiksa adalah Direktur PT Billy Indonesia Distomy Lasmon, Komisaris Emi Sukiato Lasmon, dan tiga karwayannya yaitu Edy Janto, Endang Chaerul dan Suharto Martosuroyo, Dirut PT AHB Ahmad Nursiwan dan karyawan PT AHB sekaligus direktur PT Billy Indonesia Widi Aswindi.
"Para saksi diperiksa untuk tersangka NA (Nur Alam)," kata pelaksana tugas (Plt) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Kamis (1/9).
PT Billy Indonesia merupakan perusahaan yang mengakusisi PT AHB. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar 4,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp 50 miliar dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri. Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd (saham Richcop 50 persen), merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia.
Dua saksi yang dipanggil hari ini yaitu Widi Aswindi dan Emi Sukiati Lasimon sudah dicegah KPK bepergian keluar negeri. Selain Widi dan Emi, pihak lain yang dicegah KPK adalah Kepala Dinas ESDM Sultra Burhanuddin.
Nur Alam diduga melakukan perbutan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.
Ia disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.