Selasa 30 Aug 2016 14:07 WIB

KLHK Perkuat Peran Pemantau Independen Kehutanan

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Dwi Murdaningsih
Proyeksi Ekspor Kayu dan Produk Kayu: Pekerja mengangkut kayu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Kamis (12/2).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Proyeksi Ekspor Kayu dan Produk Kayu: Pekerja mengangkut kayu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Kamis (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkuat keberadaan Pemantau Independen Kehutanan. Pemantau Independen atau PI berfungsi melakukan pengawasan tata kelola hutan yang tersebar di Indonesia.

Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lahan Putera Parthama mengatakan, penguatan PI didasari adanya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang dimiliki KLHK untuk perbaikan tata kelola hutan, pemberantasan pembalakan liar dan perdagangannya. Sistem ini akan menempatkan masyarakat sebagai PI untuk turut serta menjamin kredibilitas SVLK.

Dalam aturannya, SVLK mewajibkan perusahaan untuk menerapkan perlindungan dan pengamanan hutan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan untuk mengendalikan gangguan hutan.

Menurutnya, keberadaan PI di Indonesia telah diakui dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P30 tahun 2016 dan Perdirjen No. P14. "Sampai saat ini, PI tersebar di seluruh Indonesia melalui berbagai jaringan, lembaga dan individu," kata Putera di Gedung Manggala Wanabakti, Selasa (30/8).

Naiknya kasus-kasus kejahatan kehutanan ke meja peradilan di Indonesia tidak lepas dari peran PI selama ini di lapangan. Contohnya, kasus korupsi kehutanan di Riau, kasus illegal logging Labora Sitorus di Papua, penangkapan tiga orang cukong Malaysia yang melakukan pembalakan liar di perbatasan Indnesia-Malaysia dan berbagai kasus lainnya.

Muhamad Ichwan dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi yang merupakan salah satu PI mengatakan, sejak 2011 pihaknya telah melakukan kegiatan pemantauan kehutanan. PI yang fokus di provinsi Jawa Timur ini telah melihat kayu yang masuk dan diolah di perusahaan-perusahaan provinsi tersebut diragukan aspek legalitasnnya.

Seperti diketahui, kata dia, Jawa Timur merupakan muara kayu di Indonesia. Ia mengatakan, banyak kayu dari Papua, Kalimantan, dan Sulawesi datang ke Jawa Timur baik itu kayu olahan maupun kayu bulat.

Berdasarkan pengamatan pihaknya pada September 2015 hingga Juli 2016, sekitar 40 persen kayu yang masuk ke pelabuhan tidak memiliki tanda legalitas. Ia menjelaskan, kayu legal ditandai dengan adanya barcode dan v-legal. Meski ada juga kayu yang memiliki barcode namun tanpa dilengkapi v-legal. Kendati demikian barcode mampu menjadikan informasi pelacakan dari mana perusahaan asal kayu dan diketahui status legalitasnya.

"Tapi yang 40 persen kayu saya sebut tadi tidak memiliki barcode dan v-legal, entah dari mana kayunya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement