Kamis 25 Aug 2016 01:00 WIB

Rencana Pemerintah Naikkan Harga Rokok Dinilai Mulai Kendur

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Rencana Kenaikan Harga Rokok. Petugas toko mengambil rokok untuk konsumen di salah satu ritel, Jakarta, Ahad (21/8).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Rencana Kenaikan Harga Rokok. Petugas toko mengambil rokok untuk konsumen di salah satu ritel, Jakarta, Ahad (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany mengakui pemerintah mulai kendur untuk menaikkan harga rokok di Rp 50 ribu per bungkus. Hal itu terlihat dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut kenaikan harga rokok tidak sampai Rp 50 ribu per bungkus. 

Sebagai pengusul kenaikan harga rokok ke pemerintah, Hasbullah mengatakan kendurnya pemerintah ini, karena tekanan petani tembakau dan pekerja di industri rokok. 

"Mereka belum memahami, sehingga mereka mengancam pemerintah akan berdemo besar-besaran. Dan Pemerintah saya lihat masih terlalu sensitif dengan ancaman ini," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (24/8).

Menurutnya petani cengkeh dan tembakau serta pekerja di industri rokok perlu dipahamkan, ketika harga rokok naik, bukan berarti pembeli tidak ada. "Tidak seperti itu," ujarnya menegaskan. 

Menurut Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kesehatan UI ini, berdasarkan survei yang ia lakukan kepada seribu orang para perokok di seluruh Indonesia, fakta yang menarik 76 persen mereka setuju bila harga rokok dinaikkin. 

"Kenapa, karena mereka sebenarnya sadar merokok itu dapat menyebabkan masalah kesehatan. Tapi karena sudah kecanduan, jadi sulit untuk berhenti," ujarnya.

Bahkan dinaikkannya harga rokok lebih dari 50 ribu pun, tambahnya, ada sebagian dari mereka yang setuju tetap tidak keberatan. Walaupun faktanya, kata Hasbullah, akan ada pengurangan tingkat konsumsi rokok sangat signifikan hingga 72 persen. Untuk itu ia mengusulkan harusnya ada insentif pengembalian dari kenaikan cukai itu kepada petani dan pekerja rokok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement