REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mengajukan uji materi terhadap Pasal 70 nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati, dan Walikota, ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal tersebut mengatur soal ketentuan wajib cuti bagi pejawat yang kembali mencalonkan diri di Pilkada. Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, menilai, dalam pengajuan uji materi tersebut, Ahok menggunakan pendekatan dari sisi kinerja.
Sebelumnya, Ahok mengajukan uji materi lantaran menilai, kewajiban cuti pejawat di masa kampanye itu akan menghambat program-program kerja yang harus dilakukannya. Namun, lanjut Aminuddin, di sisi lain ada pula pendekatan kesetaraan dan keadilan bagi peserta Pilkada.
''Nah, ini sebenarnya dua pendekatan yang berbeda. Di situlah nanti, saya kira mahkamah (MK) yang akan memutuskan,'' tutur Aminuddin saat dihubungi Republika, Selasa (22/8).
Tidak hanya itu, Aminuddin menilai, semangat dari adanya pengaturan soal kewajiban cuti terhadap pejawat itu adalah agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan jabatan pada di proses pemilihan tersebut. Selain itu, ada pula aspek kesetaraan dan keadilan terhadap sesama peserta pemilihan.
Lebih lanjut, Aminuddin menjelaskan, pembentukan aturan ini tidak terlepas dari pengalaman, fakta-fakta, dan asumsi yang sebelumnya terjadi, yaitu adanya pejawat yang menyalahgunakan kewenangannya saat mengikuti proses pemilihan.
Aminuddin pun menilai, dalam pengajuan uji materi Pasal 70 UU Pilkada itu, Ahok cenderung mengambil ukuran dari dirinya sendiri. Alhasil, kondisi tersebut tidak bisa diterapkan di sebuah aturan.
"Mengambil ukuran dari dirinya itu artinya bahwa dia tidak akan menyalahgunakan kewenangan. Nah, kalau dari perspektif itu, sebenarnya bisa saja, tapi itu kan parsial. Padahal, kalau kita berbicara aturan, itu bersifat umum. Tidak untuk orang-orang tertentu, itu untuk keseluruhan orang yang ikut dalam pemilihan kepala daerah,'' kata Aminuddin.