REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buruh tidak percaya bahwa kenaikan cukai rokok ini akan digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan anggaran kesehatan.
Terbukti, meski sejak dulu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengusulkan agar dana cukai rokok digunakan untuk meningkatkan anggaran serta memperluas jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan untuk orang miskin termasuk buruh penerima upah minimum, hal itu tidak pernah disetujui.
"Jangan-jangan kebijakan menaikkan harga rokok (dana cukai rokok ratusan triliun) hanyalah akal-akalan untuk menutupi kegagalan implementasi tax amnesty demi menambal defisit APBN," ujar Presiden KSPI Said Iqbal, Senin (22/8).
Said mengatakan, mahalnya harga rokok legal tidak akan berhasil menekan konsumsi perokok. Hal tersebut hanya akan memunculkan rokok selundupan dan rokok ilegal yang dijual murah.
"Kita tahu pengawasan pemerintah lemah dan mental koruptor birokrat yang masih kuat," katanya.
Menurut Iqbal, apabila pemerintah menaikkan harga rokok, maka sama saja pemerintah menghisap darah rakyat kecil demi menaikkan pendapatan triliunan cukai rokok, mengingat mereka adalah jumlah perokok terbesar.
Oleh karena itu KSPI berpendapat, pemerintah sebaiknya bukan menaikkan harga rokok, tetapi memperkuat pendidikan dan kampanye tentang bahaya merokok terutama di kalangan generasi muda.
Di sisi lain pemerintah juga dapat menaikkan sebesar-besarnya pajak penghasilan para pengusaha industri rokok. Faktanya, kata dia, penguasa rokok adalah orang terkaya nomor 1 dan 2 di Indonesia, sementara buruhnya dibayar dengan murah dan mempekerjakan 80 persen buruh outsourcing (alih daya).