REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris mengatakan di Indonesia, orang tua tidak merasa bersalah jika menyuruh anaknya membeli rokok. Bahkan sebagian besar orang tua tidak perduli ketika menghisap rokok di dekat anaknya.
Penjual rokok juga tidak merasa melanggar hukum menjual rokok kepada anak-anak. Kesemuanya itu turut berpengaruh pada perilaku anak terhadap rokok. "Anak-anak kita tanpa rasa takut merokok di ruang-ruang terbuka, dan parahnya semua ini kita anggap hal yang normal," ujar Fahira, baru-baru ini.
Mulai 2020 sampai 2030, Indonesia dilimpahi bonus demografi. Indonesia akan diisi lebih banyak penduduk usia produktif. Jika kondisi ini terus dibiarkan, negeri ini akan diisi oleh orang-orang berpenyakit kronis.
Menurut Fahira, berbagai regulasi terkait rokok mulai dari peraturan pemerintah (PP) hingga peraturan kepala daerah belum maksimal dijalankan terutama dari sisi sosialisasi dan penegakkan hukum. Fahira mencontohkan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan sudah tegas melarang setiap orang menyuruh anak di bawah usia 18 tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi rokok. Namun fakta di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya. Fahira menyebut aturan tersebut justru dilanggar dan sama sekali tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Berbagai peraturan daerah yang melarang merokok di fasilitas umum juga banyak dilanggar karena tidak ada penindakan hukum yang menjerakan.
“Mulai dari taman kota, sampai tempat rekreasi seperti kebun binatang yang seharus menjadi tempat nyaman bagi anak-anak bermain, dikotori oleh bebasnya orang-orang yang merokok," kata dia. Komite III DPD yang salah satu lingkup tugasnya bidang perlindungan anak akan mendesak pemerintah melakukan berbagai terobosan untuk melindungi anak dari bahaya rokok.